Salin Artikel

Kekerasan terhadap Pekerja Perempuan: Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Mungkin kalimat tersebut tertanam dalam benak mereka yang bekerja sebagai buruh atau pekerja biasa.

Persoalan mengenai ketenagakerjaan Indonesia selalu muncul dan selalu berulang setiap harinya. Dari berbagai kasus, pekerja perempuan menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan di tempat kerja.

Dalam konteks ini tentu muncul pertanyaan, mengapa selalu terjadi dan mengapa selalu berulang? Ini dikarenakan persoalan ini bersifat multidimensi.

Dimensi dalam kekerasan terhadap pekerja perempuan

Konsep mengenai jenis-jenis kekerasan diperkenalkan oleh seorang sosiolog asal Norwegia, Johan Galtung.

Menurut dia, kekerasan tidak hanya terbatas pada kekerasan langsung, melainkan juga kekerasan struktural dan kultural. Kekerasan struktural secara sederhana berhubungan erat dengan frasa social injustice (Galtung, 1969).

Dengan kata lain, kekerasan stuktural terjadi ketika ketidakadilan sosial terjadi di berbagai tempat. Ketidakadilan sosial yang terjadi di Indonesia merupakan persoalan yang multidimensi, mulai dari ketiadaan regulasi, lemahnya regulasi, hingga lemahnya penegakan hukum. Hukum seolah tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Ini mengarahkan pada kebenaran dan keadilan hanya milik mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan.

Lalu, apakah persoalan struktural menjadi satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya berbagai kekerasan terhadap pekerja perempuan? Jawabannya tentu tidak.

Terdapat aspek kultural yang berkontribusi dalam munculnya berbagai persoalan struktural. Aspek kultural yang dimaksud merujuk pada budaya patriarki yang berkembang di Indonesia.

Pewajaran atau pembiaran terhadap asumsi yang mengatakan bahwa perempuan tidak lebih tinggi dari laki-laki menjadi penyebab banyak masyarakat, terutama laki-laki yang merasa bahwa mereka lebih superior terhadap perempuan.

Misalnya, dalam budaya Jawa ada istilah masak, manak, macak yang kemudian diinterpretasikan sebagai alat untuk menegaskan dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Kemudian, karena ini dianggap sebagai hal yang “wajar”, maka semuanya nampak seolah tidak terjadi apa-apa. Akhirnya, aspek kultural ini memicu permasalahan dalam lingkup struktural seperti lemahnya aturan dan penegakan hukum terkait pekerja perempuan.

Keputusasaan atas ketiadaan alternatif lain

Karena berbagai macam sebab seperti hutang, perempuan dipekerjakan oleh pihak tertentu, bahkan tidak jarang pihak tersebut ialah orangtua dari korban yang memaksanya untuk bekerja dalam sektor-sektor yang rentan seperti sektor pekerjaan informal, dan banyak di antaranya merupakan perempuan di bawah umur.

Pada kondisi lain, tidak jarang di antara pekerja perempuan yang mengalami kekerasan oleh majikan atau bosnya lebih memilih diam daripada harus kehilangan pekerjaannya.

Kembali pada kalimat pembuka tulisan ini, pekerja perempuan sering berada dalam situasi ketika mereka tidak memiliki pilihan lain selain bekerja dalam kondisi seburuk apapun untuk tetap bertahan hidup.

Faktor ekonomi merupakan faktor fundamental yang dijadikan alasan oleh mereka tetap bekerja dalam kondisi tidak manusiawi.

Bagi kapitalis, kemiskinan merupakan hal pantas didapat bagi pihak yang tidak mau berusaha dan kalah dalam bersaing.

Mereka berpandangan bahwa sudah menjadi kodrat mereka untuk terlahir kaya dan kodrat mereka ditentukan oleh jerih payah mereka sendiri. Namun, anggapan ini masih sangat memungkinkan untuk diperdebatkan.

Lagi-lagi aspek struktural menjadi faktor krusial terhadap kemiskinan dalam suatu negara. Ini berhubungan dengan distribusi ekonomi yang tidak merata dan keterbatasan akses terhadap pendidikan. Keduanya saling memengaruhi satu sama lain.

Untuk dapat bersaing dan memperoleh pekerjaan dengan kualitas tinggi, latar belakang pendidikan di Indonesia menjadi salah satu parameter menentukan apakah seseorang layak bekerja pada posisi tertentu dan dibayar dengan nominal tertentu.

Sedangkan, untuk memperoleh pendidikan tinggi, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal, tidak semua masyarakat kurang mampu memperoleh beasiswa atau bantuan, dan beasiswa atau bantuan tersebut belum tentu mampu menutupi seluruh ongkos yang dibutuhkan untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Ini merupakan situasi yang sulit dan dilematis bagi masyarakat menengah ke bawah. Untuk makan saja susah, apalagi untuk biaya pendidikan.

Belum persoalan lain seperti biaya listrik, air, sewa kontrakan, dan terutama biaya kesehatan, karena ada yang mengatakan bahwa “sehat itu mahal harganya”, sehingga, mereka dilarang sakit.

Kondisi ini berusaha mengungkapkan bahwa untuk menghilangkan kekerasan dan menciptakan perdamaian adalah dengan mengatasi kesenjangan ekonomi.

Situasi ini juga berhubungan keterbatasan terhadap akses pekerjaan yang layak. Perbandingan lapangan pekerjaan dengan jumlah angkatan kerja menjadi persoalan lain yang kemudian menyebabkan banyak pekerja perempuan bekerja di sektor rentan, seperti bekerja sebagai di sektor informal.

Dianggap sebagai sektor rentan dikarenakan sektor tersebut sering lepas dari pengawasan pemerintah.

Lemahnya perlindungan hukum pekerja perempuan

Permasalahan struktural mengenai pekerja perempuan dapat dilihat dari belum diratifikasinya Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 190 tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja atau Konvensi ILO No.189 tentang pekerja rumah tangga oleh pemerintah dan justru lebih memilih mengesahkan Omnibus Law.

Padahal, berbagai macam kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan terjadi di sektor informal.

Misalnya, menurut Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) terdapat 1.458 kasus kekerasan terhadap PRT dalam berbagai bentuk dalam kurun waktu 2018 hingga April 2020 (Purnamasari, 2020).

Ini mengindikasikan bahwa regulasi ketenagakerjaan di Indonesia masih berat sebelah, dan ketika ini terjadi di lingkungan patriarki, maka situasi ini dianggap “wajar”.

Dalam konteks ini tentu komitmen pemerintah perlu dipertanyakan, mengapa hingga saat ini belum disahkan dan apakah ada permainan di baliknya.

Situasi ini menimbulkan berbagai desakan terhadap pemerintah untuk mengesahkan undang-undang tersebut. Ada undang-undangnya saja berbagai kekerasan atau kasus pelanggaran terhadap hak pekerja masih terjadi, apalagi jika tidak ada UU.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Persoalan-persoalan di atas merupakan tantangan dalam perdamaian di Indonesia terkait perlindungan terhadap pekerja perempuan yang bersifat konstruktif. Artinya, cara mengatasinya dapat dilakukan dengan menciptakan konstruksi lebih baik, baik secara stuktural maupun kultural.

Metode nirkekerasan yang ditulis oleh Gene Sharp dalam karyanya yang berjudul The Politics of Non-Violent Actions, merupakan cara yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi “carut-marut” ini.

Salah satu cara yang sering ditemui dalam konteks ini ialah melalui metode #47, demonstrasi (Sharp, 1973).

Akan tetapi, metode ini memiliki tantangan tersendiri, seperti kasus Union Busting, yang didefinisikan sebagai upaya pihak tertentu (biasanya pemilik modal), untuk memberangus kebebasan berserikat.

Padahal, aturan mengenai kebebasan berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948 dan Nomor 98 tahun 1949) telah diratifikasi Indonesia, yang kemudian diadopsi dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat pekera/buruh.

Walaupun demikian, optimisme untuk menggunakan metode nirkekerasan tetap harus diutamakan.

Dalam sejarahnya, people power di Indonesia berhasil meruntuhkan rezim yang dinilai korup. Tujuannya untuk memperbaiki kondisi struktural, terutama mengenai dasar hukum yang mengatur mengenai penghapusan kekerasan terhadap pekerja perempuan.

Yang juga penting ialah mengubah pola pikir masyarakat yang keliru mengenai asumsinya terhadap laki-laki dan perempuan.

Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, sehingga siapa pun tidak berhak menciderai hak dan martabat perempuan baik dalam pekerjaan maupun dalam konteks lebih luas.

Dengan demikian, ketika masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki fondasi yang kuat terkait ini, maka mereka akan lebih menghormati perempuan tanpa harus menunggu terjadinya kekerasan terhadap pekerja perempuan, lalu baru memperjuangkan hak perempuan.

Poin utamanya adalah tindakan pencegahan (preventif) lebih baik daripada membiarkan trauma terjadi lebih dulu lalu kemudian mengobati trauma tersebut (kuratif).

Upaya ini dapat dilakukan melalui penanaman nilai yang sesuai melalui cara sederhana seperti perilaku sehari-hari dan menggugah awareness melalui berbagai cara nirkekerasan, seperti seni pertunjukkan, poster, mural, televisi, dan sebagainya.

Pembiasaan ini nantinya dapat membentuk konstruksi baru yang kuat lalu mendorong pemerintah secara khusus, untuk bertindak sesuai dengan nilai yang diyakini bersama bahwa perlindungan terhadap perempuan merupakan sesuatu yang mutlak.

https://nasional.kompas.com/read/2022/12/01/06000081/kekerasan-terhadap-pekerja-perempuan--siapa-yang-harus-bertanggung-jawab-

Terkini Lainnya

Arief Poyuono Ajukan Amicus Curiae, Harap MK Tolak Sengketa Pilpres

Arief Poyuono Ajukan Amicus Curiae, Harap MK Tolak Sengketa Pilpres

Nasional
Optimis Pertemuan Prabowo-Megawati Berlangsung, Gerindra Komunikasi Intens dengan PDI-P

Optimis Pertemuan Prabowo-Megawati Berlangsung, Gerindra Komunikasi Intens dengan PDI-P

Nasional
Dibantu Tony Blair Institute, Indonesia Percepat Transformasi Layanan Digital Pemerintah

Dibantu Tony Blair Institute, Indonesia Percepat Transformasi Layanan Digital Pemerintah

Nasional
Senat Mahasiswa Driyarkara Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Kabulkan Sengketa Pilpres 2024

Senat Mahasiswa Driyarkara Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Kabulkan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Ditanya Progres Komunikasi dengan PKB dan PPP, Gerindra: Jos!

Ditanya Progres Komunikasi dengan PKB dan PPP, Gerindra: Jos!

Nasional
Ditanya Kemungkinan Gerindra Kembali Dukung Anies di Pilkada DKI, Gerindra: Anies Siapa?

Ditanya Kemungkinan Gerindra Kembali Dukung Anies di Pilkada DKI, Gerindra: Anies Siapa?

Nasional
Dituding Jadi Penghambat Pertemuan Megawati dengan Jokowi, Hasto: Apa Perlu Saya Bacakan Komentar Anak Ranting?

Dituding Jadi Penghambat Pertemuan Megawati dengan Jokowi, Hasto: Apa Perlu Saya Bacakan Komentar Anak Ranting?

Nasional
Survei LSI: Pemilih Anies dan Ganjar Tidak Puas dengan Penyelenggaraan Pemilu 2024

Survei LSI: Pemilih Anies dan Ganjar Tidak Puas dengan Penyelenggaraan Pemilu 2024

Nasional
Panglima TNI Minta Para Prajurit Tak Mudah Terprovokasi Berita-berita di Media Sosial

Panglima TNI Minta Para Prajurit Tak Mudah Terprovokasi Berita-berita di Media Sosial

Nasional
Anggota DPR Ihsan Yunus Irit Bicara Usai Diperiksa sebagai Saksi Kasus APD Covid-19

Anggota DPR Ihsan Yunus Irit Bicara Usai Diperiksa sebagai Saksi Kasus APD Covid-19

Nasional
Erupsi Gunung Ruang, TNI AL Kerahkan KRI Kakap-811 dan 400 Prajurit untuk Bantuan Kemanusiaan

Erupsi Gunung Ruang, TNI AL Kerahkan KRI Kakap-811 dan 400 Prajurit untuk Bantuan Kemanusiaan

Nasional
Pertemuan Prabowo dan Menlu China Berlangsung Tertutup di Kemenhan

Pertemuan Prabowo dan Menlu China Berlangsung Tertutup di Kemenhan

Nasional
Menlu Retno Telepon Menlu Hongaria Bahas soal Iran-Israel

Menlu Retno Telepon Menlu Hongaria Bahas soal Iran-Israel

Nasional
Bahlil Ungkap UEA Minat Investasi Panel Surya di IKN

Bahlil Ungkap UEA Minat Investasi Panel Surya di IKN

Nasional
Petugas 'Ad Hoc' Pilkada Akan Beda dengan Pilpres, KPU Buka Rekrutmen Lagi

Petugas "Ad Hoc" Pilkada Akan Beda dengan Pilpres, KPU Buka Rekrutmen Lagi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke