Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keberadaan Lembaga Perlindungan Data Pribadi Dinilai Semakin Mendesak

Kompas.com - 17/11/2022, 11:48 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan sebuah lembaga yang menangani perlindungan data pribadi di Indonesia saat ini dinilai semakin dibutuhkan buat menanggulangi dan menangani rentetan insiden kebocoran data.

Dalam peristiwa terbaru, peretas Bjorka kembali mengklaim mempunyai data pengguna aplikasi PeduliLindungi sebanyak 3,2 miliar yang diunggah melalui situs breached.to.

Baca juga: Data Publik Masih Bocor, Kominfo dan BSSN Dinilai Perlu Berperan Atasi meski Sudah Ada UU PDP

Menurut pakar keamanan siber Pratama Dahlian Persadha, saat ini kebutuhan akan keberadaan lembaga perlindungan data sudah mendesak mengingat serangan siber yang terjadi juga semakin gencar.

"Setelah rentetan kebocoran yang tidak berujung maka saat ini yang terpenting adalah segera membentuk lembaga pengawas PDP atau apapun namanya. Misalnya Komisi PDP," kata Pratama saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/11/2022).

Perintah supaya pemerintah mendirikan lembaga perlindungan data adalah amanat dari Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Proses pendirian lembaga itu dimulai ketika UU PDP mulai diberlakukan.

Baca juga: Data PeduliLindungi Dijual Bjorka, Pemerintah Diminta Gelar Audit dan Forensik Digital

"Komisi PDP ini nanti tidak hanya mengawasi, namun juga melakukan menegakkan aturan serta menciptakan standar keamanan tertentu dalam proses pengolahan pemrosesan data," ucap Pratama.

Pratama berharap lembaga perlindungan data itu nantinya tidak hanya mengawasi, tetapi juga meminta pertanggungjawaban kepada instansi pemerintah atau korporasi yang dianggap lalai dalam melindungi data pengguna.

"Dalam kasus kebocoran data seperti aplikasi PeduliLindungi ini, bila ada masyarakat yang dirugikan bisa nantinya melakukan gugatan lewat Komisi PDP," ujar Pratama.

Peretas Bjorka dilaporkan mengunggah data PeduliLindungi di forum breached.to pada Selasa (15/11/2022) lalu, bertepatan dengan pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali.

Baca juga: Data PeduliLindungi yang Dijual Bjorka Diduga Tidak Dienkripsi

Menurut Pratama, contoh data PeduliLindungi yang diunggah Bjorka dalam situs tersebut yaitu nama, email, nomor induk kependudukan (NIK), nomor telepon, tanggal lahir, identitas perangkat, status Covid-19, riwayat check-in, riwayat pelacakan kontak, vaksinasi dan masih banyak data lainnya.

Bjorka menjual data yang berjumlah 3,2 miliar itu dengan harga 100.000 Dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 1,5 miliar. Dia memberi syarat transaksi menggunakan mata uang kripto BitCoin.

Menurut Pratama mengemukakan, data yang diklaim oleh Bjorka berjumlah 3,250,144,777, dengan total ukuran mencapai 157 Gigabyte bila dalam keadaan tidak dikompres.

Data sampel yang diunggah Bjorka dibagi menjadi 5 jenis, yaitu data pengguna (94 juta), akun yang sudah disortir sebanyak (94 juta), data vaksinasi (209 juta), data riwayat check-in (1,3 miliar), dan riwayat pelacakan kontak (1,5 miliar).

Baca juga: Bjorka Diduga Bocorkan 44 Juta Data MyPertamina, Pertamina Lakukan Investigasi

Pratama menyarankan supaya seluruh lembaga yang terlibat mengelola aplikasi PeduliLindungi segera melakukan audit dan proses forensik digital buat mencari sumber kebocoran data.

Dia juga menyoroti pengamanan data pengguna PeduliLindungi yang sangat sensitif lantaran diduga tidak dienkripsi atau disandi. Alhasil, kata dia, data penting itu jadi mudah terbaca ketika diambil peretas.

"Sampai saat ini sumber datanya masih belum jelas. Namun soal asli atau tidaknya data ini hanya instansi yang terlibat dalam pembuatan aplikasi pedulilindungi yaitu Kominfo, Kementrian BUMN, Kemenkes dan Telkom," ucap Pratama.

Pratama mengatakan, proses audit dan forensik digital penting buat menelusuri sumber kebocoran data.

Baca juga: Polri Bantah Ponsel Tersangka Kasus Bjorka MAH Diambil Polisi dan Dibayar Rp 5 Juta

Sebab apabila ditemukan celah keamanan pada aplikasi PeduliLindungi, maka kemungkinan besar memang terjadi peretasan dan pencurian data.

"Namun, bila benar-benar tidak ditemukan celah keamanan dan jejak digital peretasan, ada kemungkinan kebocoran data ini terjadi karena insider atau data ini bocor oleh orang dalam," ucap Pratama.

Menurut Pratama terdapat 3 penyebab utama kebocoran data, yaitu peretasan, human error atau tindakan orang dalam, dan kesalahan dalam sistem informasi.

"Jadi setiap kebocoran data tidak selalu disebabkan oleh serangan siber oleh para peretas. Namun bila serangan oleh para peretas, itu pun tidak langsung bisa diidentifikasi para penyerangnya. Ini juga terkait sejauh mana kemampuan dari si peretas," papar Pratama.

Baca juga: Mahfud MD soal Bjorka: Data Saya Disebar dengan Nama Ibu Siti Aminah, padahal Bukan, Ngarang Itu!

Sebelumnya, Bjorka juga mengaku membocorkan 44 juta data aplikasi MyPertamina dalam situs yang sama.

Bjorka mengklaim meretas data MyPertamina sebesar 30 Gigabyte atau 6 Gigabyte terkompresi yang terdiri dari nama, email, NIK, NPWP, nomor telepon, alamat, tanggal lahir, jenis kelamin, dan penghasilan pemilik data, mulai dari per hari, bulan, dan tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com