BENTUK ketidakpuasan publik atas keputusan jalan damai-restorative justice, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap Lesti Kejora yang dilakukan suaminya, Rizky Billar, terus bergulir.
Media sosial menjadi ruang protes yang dominan. Bentuk penolakannya hingga pemboikotan di media.
Bahkan sampai ada tayangan FTV di salah satu stasiun televisi, seperti reka ulang kejadian KDRT Lesty, berikut nama tokohnya yang nyaris serupa.
Mengapa publik mengganggap restorative justice sebagai “jalan salah” yang ditempuh Lesty? Apakah restorative justice sesuatu yang sangat asing bagi publik kita atau karena persoalan istilah belaka?
Polemik fenomena kasus KDRT Lesty Kejora dipahami publik sebagai kasus yang tidak lazim. Meskipun solusi “jalan damai” sebenarnya kerap ditempuh dalam banyak kasus perselisihan maupun kekerasan dalam relasi kasus toxic relationship.
Kasus itu paradoks dengan upaya pencegahan dan penghapusan kasus KDRT. Bahkan kasusnya mirip konten pranks artis atas institusi negara. Apalagi melibatkan lembaga kepolisian yang telah membuang waktu untuk memproses pengaduan.
Kasus KDRT sebenarnya memang kompleks, terutama karena latar belakang kasus dan sosio-kultural pelakunya juga beragam. Bisa saja karena musabab institusi sosial, ekonomi, politik, dan budaya, bukan sekadar urusan private dan domestik rumah tangga.
Keputusan Lesty memang bersifat personal, urusan private-domestiknya. Namun dalam konteks kasus KDRT, di mana perempuan sering menjadi korbannya, sikap mengalah, toleransi atas tindak kekerasan, dapat menjadi preseden dalam penegakan hukum kasus KDRT.
Keputusan Lesty harus mengalah dalam kasus ini memang dilematis. Padahal dari sisi hukum secara tegas diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Apa yang menjadi konteks pengertian kekerasan dalam rumah tangga, adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam dalam lingkup rumah tangga.
Sedangkan dari sisi syariah, runtuhnya harmonisasi keluarga ketika mengalami masalah harus diselesaikan dalam beberapa fase. Mulai dari pembicaraan keluarga, hingga mediasi pihak ketiga.
Intinya bahwa pendekatan penyelesaian masalah tetaplah pada koridor mengembalikan pada ikatan semula. Karena “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah thalaq atau cerai”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Konsekuensi dari perceraian bukan saja memutus hubungan pernikahan suami istri, melainkan berisiko besar menyebabkan konflik dan renggangnya hubungan antar dua keluarga, dari pihak suami dan pihak istri. Barangkali itu yang mendasari banyak keputusan berdamai dalam kasus KDRT.
Anggapan yang keliru dari sisi ajaran agama, juga dapat menjadi pemicu KDRT. Asumsi laki-laki adalah “pemimpin” dalam rumah tangga dan memiliki kuasa lebih besar atas keluarganya.
Pelaku merasa ada toleransi agama ketika melakukan KDRT, sehingga tidak dikategorikan tindak kekerasan, hanya sebagai bentuk “teguran atau pendidikan” bagi istrinya.