Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Dinilai Tak Konsisten Tolak Gugatan soal Komponen Cadangan

Kompas.com - 31/10/2022, 20:49 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Bagus Santosa

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tak konsisten dalam penolakannya terkait gugatan uji materi Komponen Cadangan (Komcad) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).

Pengacara publik LBH Jakarta Teo Reffelsen menilai, inkonsistensi tersebut terlihat pada aspek pertimbangan putusan yang diambil MK.

Ia mengatakan, MK dalam pertimbangannya mengakui bahwa definisi ancaman dalam UU PSDN kabur dan menciptakan ketidakpastian hukum.

“Alih-alih membatalkan pasal tersebut, MK justru memerintahkan pembentuk UU merevisi pengaturan tersebut melalui revisi UU PSDN yang telah masuk Prolegnas yang sejatinya tidak dibenarkan dalam konteks hukum,” kata Teo dalam keterangan tertulis, Senin (31/10/2022) sore.

Baca juga: MK Tolak Permohonan Gugatan soal Komponen Cadangan

Teo menyebut, MK dalam pertimbangannya juga menyatakan penetapan Komcad manusia, sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), sarana, serta prasarana nasional harus demokratis dan menghormati hak asasi manusia (HAM).

Ia membenarkan mengenai argumentasi tersebut. Tetapi, ia menilai MK seolah tidak berani menyatakan penetapan Komcad secara sepihak yang dapat dilakukan Menteri Pertahanan (Menhan) keliru, tidak demokratis, dan berpotensi melanggar HAM.

Ia juga menyoroti pertimbangan MK yang menyatakan UU PSDN sudah mengakomodir prinsip conscientious objection atau mekanisme penolakan karena pemerintah tidak mewajibkan warga negara mengikuti Komcad.

“UU PSDN memang benar tidak mewajibkan warga negara untuk mengikuti Komcad, akan tetapi UU PSDN tidak sama sekali memberikan mekanisme penolakan,” terang dia.

Teo menyatakan, konseptual dasar pertimbangan putusan MK dalam menolak permohonan tersebut kacau.

Baca juga: Wapres Maruf Amin Tetapkan 2.974 Anggota Komcad untuk Pertahanan Negara

Menurutnya, hal ini terlihat ketika MK menyebut polisi adalah masyarakat sipil sehingga sama dengan organisasi masyarakat (ormas), karenanya diklasifikasikan sebagai komponen pendukung.

“Pertimbangan dan putusan MK yang menyebutkan bahwa polisi adalah bagian masyarakat sipil adalah sesat pikir,” imbuh dia.

Diberitakan sebelumnya, MK menolak permohonan gugatan uji materi Komcad dalam UU PSDN.

"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, dikutip dari Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Senin (31/10/2022).

Selain itu, MK juga mengadili dalam provisi, menolak permohonan provisi untuk seluruhnya.

Anwar menyatakan, permohonan para pemohon berkenaan dengan Pasal 75 dan Pasal 79 UU Nomor 23 Tahun 2019, kabur.

“Pokok permohonan para pemohon selain dan selebihnya adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Anwar.

Baca juga: 3 Kepala Staf TNI Kompak Hadiri Pelantikan 2.974 Anggota Komcad

Sementara itu, Hakim MK Arief Hidayat mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang berdaulat memerlukan adanya sistem pertahanan negara yang kokoh.

Sistem ini tak lain sebagai usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, keselamatan segenap bangsa.

Sekaligus, ia mengatakan, sistem tersebut sebagai upaya mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

“Lahirnya sistem pertahanan negara yang bersifat semesta merupakan proses perjalanan panjang perjuangan rakyat Indonesia,” tegas dia.

Adapun pihak penggugat terdiri dari Imparsial, KontraS, Yayasan Kebajikan Publik Jakarta, dan PBHI. Kemudian terdapat tiga individu yakni Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, dan Leon Alvinda Putra.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com