Mengapa kita tidak memahami lebih cerdas bahwa teriakan itu lebih kepada rambu-rambu moral agar tidak terjadi lagi kasus seperti Ferdy Sambo? Idiom Sambo adalah imperatif moral masyarakat sebagai bukti kecintaan terhadap kepolisian.
Lantas, apa yang salah dari idiom itu? Kata ‘Sambo’ tidak salah, yang salah adalah defisit pemahaman kita sesuai dengan karakter kita yang mencerminkan karakter bangsa.
Bangsa ini adalah bangsa yang mudah tersinggung ketika kata dan bahasa yang menyeruak di ruang publik diterjemahkan untuk kepentingan sendiri. Bangsa ini mudah menghakimi dan membunuh karena kata dan bahasa.
Benar yang dikatakan Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan dari Yahudi bahwa kejahatan yang banal lebih sering terjadi bukan karena moral yang terdekandensi.
Banalitas kejahatan lebih sering terjadi karena kesalahan dan kedangkalan berpikir. Problem epistemologi yang berhubungan dengan ketidakmampuan manusia berpikir jernih dan sehat berpotensi melahirkan brutalitas dan perilaku barbar.
Menurut J. Skolnick (1996), ada dua unsur yang memengaruhi tugas polisi, yaitu unsur bahaya dan unsur kewenangan.
Unsur bahaya mendorong polisi untuk selalu curiga dan unsur kewenangan dapat berubah menjadi sewenang-wenang.
Kecurigaan begitu dekat dengan polisi karena pengalaman kejahatan dan bahaya selalu terjadi pada waktu yang tidak dapat dipastikan.
Kecurigaan terhadap bahaya atau pelanggaran hukum mendorong polisi untuk sewaktu-waktu dapat berbuat sewenang-wenang.
Pengamatan Skolnick yang adalah orang Amerika ini cukup akurat karena dapat berlaku di kepolisian mana pun.
Hari ini terjadi pada aparat kepolisian di tanah air, khususnya di NTT, yang suka mencurigai masyarakat dan akhirnya berbuat sewenang-wenang.
Beberapa kasus anarkis yang telah diuraikan di atas telah membuktikan bahwa ada oknum polisi yang terperangkap dalam dua unsur tersebut.
Oleh karena itu, mari kita merumuskan formula yang tepat untuk menjaga marwah kepolisian kita sekaligus merawat demokrasi yang ‘sakit’.
Merujuk pada pengamatan Skolnick dan fakta yang terjadi, maka menurut saya, kewaspadaan dan dan kemampuan berdialog adalah kuncinya.
Cara menjauhkan diri dari kecurigaan adalah waspada bila bahaya mengancam, bukan mencurigai dan kemudian menginterogasi dan sewenang-wenang.
Tanpa kemampuan berdialog, dialektika pemahaman tidak dapat dibangun. Untuk itu alat kekuasaan ini perlu dibimbing untuk memahami dialog, demokrasi, dan HAM.
Dialog membuka ruang untuk men-share pemahaman agar tidak terjadi tuding menuding.
Kasus Ferdy Sambo cukup menjadi tamparan keras untuk polisi kita. Seharusnya kasus besar ini menjadi alat yang ‘menobatkan’ aparat kepolisian.
Bila ini adalah waktu yang tepat untuk ‘bertobat’, maka saban hari Polri harus mampu menampilkan diri sebagai penegak hukum dan pelindung rakyat yang selalu waspada akan setiap kejadian, tak menampakkan sifat curiga, dan selalu tahu tugas dan kewenangannya tanpa sewenang-wenang.
Irjen Pol (Purn) Anton Tabah pernah mengutip Walter Hartinger, seorang ahli kepolisian Amerika Serikat, apabila kita mau melihat citra polisi, kita pun dapat melihat bagaimana kondisi masyarakat yang bersangkutan pada waktu yang sama.
Polisi hanya bagaikan cermin yang memantulkan wajah-wajah masyarakatnya. Jadi, seandainya marwah dan citra buruk polisi tercipta boleh jadi begitu pula kondisi masyarakatnya ketika itu.
Terhadap hal itu semua, jargon Bapak Presiden Indonesia Joko Widodo harus tetap berkumandang, tidak hanya bersarang pada perilaku, polisi tetapi juga pada perilaku masyarakat.
Tugas kita bersama adalah memastikan ruang publik dimanfaatkan sebagai medium demokrasi dan menolak tegas tindakan represif kekuasaan kepada masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.