Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Richard Toulwala
Dosen

Akademisi

Apa yang Salah dari Idiom "Sambo"?

Kompas.com - 04/10/2022, 11:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK kasus Ferdy Sambo bergulir ke ruang publik, kepolisian menjadi sorotan dan menyedot perhatian publik. Penanganan kasus pembunuhan Brigadir J yang meskipun on the track, tetap dinilai publik sesuai perspektif dan keinginan.

Ruang publik sebagai medium ekspresi demokrasi memungkinkan kepolisian ‘dikuliahi’ oleh masyarakat. Pada saat yang sama kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian tergerus.

Tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi ternyata telah meng-Indonesia. Dari pusat hingga pelosok lokalitas negeri ini, Ferdy Sambo dianggap sebagai simbol kejahatan kepolisian. Tidak mengherankan muncul idiom ‘Sambo’.

Di NTT tempat saya tinggal dan mungkin juga di daerah lain, warga sering berteriak ‘Sambo’ ketika melihat aparat kepolisian.

Di beberapa tempat, teriakan ‘Sambo’ dinilai bersentuhan dengan wilayah hukum karena teridentifikasi penggaran UU ITE dan sebagainya. Akibatnya warga berurusan panjang dengan aparat kepolisian.

Sebagai contoh, seorang wanita bernama Sumiarti Masry di Kabupaten Sikka, NTT, terpaksa diamankan oleh Polres Sikka karena unggahan di media sosial facebook yang menyebutkan warga Ferdy Sambo memang meresahkan (Mediaindonesia.com).

Ada juga warga Pekanbaru yang diciduk karena membuat konten tik-tok tentang Sambo dalam kaitannya dengan perjudian (Kompas.com).

Sementara yang terbaru dan terheboh adalah berita yang dimuat oleh Kompas.com (30/09), sejumlah mahasiswa calon biarawan Katolik, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero diinterogasi oleh aparat Kepolisian Resor (Polres) Sikka karena diduga meneriakkan kata "Sambo".

Menurut polisi, para mahasiswa yang adalah frater itu meneriaki kata ‘Sambo’ dari dalam truk saat mereka hendak berbelanja keperluan dapur di Pasar Tingkat Maumere.

Polisi kemudian menginterogasi para frater, tetapi mereka bersikeras tidak melakukan hal tersebut.

Namun, polisi tidak menerima penjelasan mereka dan memaksa para frater untuk jujur, bahkan dengan menyuruh membuat sumpah.

Terdorong oleh ketidakpuasan atas jawaban para frater, polisi memutuskan untuk mengawal truk itu menuju Ledalero dan menemui pimpinan para frater di Seminari Tinggi Ledalero.

Tulisan ini tidak hendak membahas secara detail persoalan tersebut memasuki wilayah hukum. Intensi tulisan ini adalah refleksi terhadap kekuasaan dan demokrasi dalam kaitannya dengan kasus tersebut.

Menghidupkan trauma orde baru

Interogasi yang dilakukan oleh polisi terhadap mahasiswa calon imam IFTK Ledalero sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Peristiwa semacam ini adalah kejadian kesekian kalinya di NTT yang memberikan kesan kuat bahwa polisi memainkan cara represif ketika berhadapan dengan masyarakat.

Bagi kami masyarakat NTT, kekerasan atas nama oknum polisi sudah kami rasakan beberapa tahun terakhir dan semakin menjadi-jadi tahun ini.

Pada 27 Maret 2018, Ferdinandus Taruk ditembak mati oleh Bripda Vinsensius Pontianus Dhae (24) dari Unit Sabhara Polres Manggarai.

Pemuda 24 tahun asal Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong itu ditembak pada tengah malam, saat sedang asyik bercengkerama dengan rekan-rekannya di Sondeng, padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun. Pelaku dihukum ringan penjara 1,5 tahun.

Pada tahun yang sama, penembakan oleh polisi juga terjadi di Sumba Barat. Poro Duka (45), warga Desa Patiala Bawa ditembak oleh polisi saat PT Sutra Maronis, perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, secara sepihak melakukan pengukuran tanah adat.

Masih di Sumba Barat, pada 9 Desember 2021, di Polsek Katikutana, seorang polisi menganiaya tahanan bernama Arkin hingga tewas.

Sebelumnya korban ditangkap karena diduga mencuri ternak. Korban mengalami memar pada wajah dan tangan, hidung mengeluarkan darah, tangan kiri patah dan mirip luka tembakan.

Setelah kasus Ferdy Sambo berhembus ke publik, pada 1 Agustus 2022, seorang oknum polisi memukul dan menangkap pelaku wisata yang menggelar aksi mogok menentang komersialisasi dan monopoli bisnis di Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.

September 2022, juga menyimpan memori kriminal oknum polisi di NTT. GYL, pemuda 18 tahun ditembak mati pada 27 September, oleh anggota polisi di Polres Belu saat hendak ditangkap sebagai tersangka kasus pengeroyokan seorang sopir truk.

Dalam skala nasional, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pada 2020, melaporkan data bahwa terdapat 304 korban tewas dan 1.627 luka-luka dalam 921 insiden kekerasan oleh polisi.

Sementara pada 2021, polisi melakukan 652 tindakan brutal terhadap warga sipil, yang menyebabkan 13 kematian dan 98 luka-luka. Sebagian besar karena penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penembakan sewenang-wenang.

Interogasi yang dilakukan oleh oknum polisi di Maumere terhadap para mahasiswa calon imam dan data anarkisme para oknum polisi mau tidak mau mengingatkan kita pada kelakuan penegak hukum di orde baru.

Fakta ini hendak menunjukkan bahwa polisi tersandera dalam imaginer kejantanan dan keperkasaan, namun sesungguhnya telah menghancurkan identitas dan eksistensi kepolisian.

Sebagaimana yang tersurat dalam hukum negara, polisi kita mempunyai tugas pokok membimbing, mengayomi, melayani, dan menegakkan hukum di masyarakat.

Sebagai penegak hukum, polisi dituntut untuk konsisten dalam tindakan, tegas, dan santun dalam sikap, bukan seberapa jagonya dia membunuh masyarakat yang melakukan protes sosial.

Tampilan barbar dalam sosok beberapa oknum polisi hari ini adalah kegelisahan publik Indonesia, kegelisahan kita bersama.

Mereka menampilkan tindakan represif yang kemudian membangkitkan memori kelam bangsa ini pada orde baru. Selama 32 tahun rezim orde baru pernah mementaskan politic of fear di panggung politik Indonesia.

Secara terstruktur dan masif rezim itu menebarkan ketakutan massal dengan cara represif-koersif. Cara ini dipandang efektif karena rasa takut publik dieksploitasi dan kemudian disublimasi menjadi loyalitas absolut.

Hari ini para oknum polisi dengan cara yang mirip sukses membangkitkan pengalaman traumatis bangsa ini pada orde baru.

Meskipun sebagai sistem politik indonesia diakui dunia telah beralih dari totalitarianisme kepada demokrasi, namun fakta justru menampilkan cara kerja orde baru masih berkelindan di belakang demokrasi.

Oknum-oknum polisi tersebut berkontribusi mengubah wajah demokrasi dalam tampilan yang menakutkan. Demokrasi yang dibangun dengan susah payah malah dihancurkan oleh pelindung demokrasi.

Polisi adalah pengayom masyarakat. Masyarakat adalah substansi demokrasi, maka tugas polisi adalah tugas mulia, yakni melindungi demokrasi.

Sayangnya polisi justru menciptakan skandal dalam demokrasi karena menghalang-halangi demos (masyarakat) yang meneriakan idiom ‘Sambo’ sebagai akumulasi kekecewaan mereka terhadap pelindung demokrasi.

Bukan saja menghalang-halangi teriakan di ruang publik, polisi juga berperan menjadi malaikat pencabut nyawa.

Pada aras pemahaman ini, dapat dimaklumi bahwa beberapa oknum polisi memiliki kemampuan berdialog yang terbatas dan lebih berbakat dalam tindakan represif dan anarkis. Mengedepankan anarkis adalah sisi lain minus rasionalitas dan kemampuan berkomunikasi.

Bilamana polisi hari ini masih menggunakan metode kuno semacam itu, maka demokrasi akan perlahan-lahan menemukan kematiannya di tangan alat kekuasaan.

Rupanya jargon revolusi mental Presiden Jokowi belum mampu menjinakkan polisi-polisi ini.

Apa yang salah dari idiom Sambo?

Teriakan Sambo yang viral di media sosial dan yang menyata di beberapa tempat sempat menyulut kemarahan dari beberapa oknum polisi.

Beberapa warga ditangkap dan diproses secara hukum karena dianggap melanggar UU ITE. Sementara yang lain diinterogasi karena dituduh meneriakkan ‘Sambo’.

Apa yang salah dari meneriakan ‘idiom’ Sambo? Hal remeh-temeh semacam ini bisa diselesaikan dengan seni memahami demokrasi. Sebab interogasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Maumere itu adalah produk dari cara memahami idiom ‘Sambo’.

Cara memahami sangat menentukan identitas, cara kita bertindak, dan cara berkesistensi. Kebaikan atau keburukan idiom ‘Sambo’ tidak terletak pada orang yang meneriakan, tetapi tergantung pada cara kita memahaminya.

Saya memahami bahwa teriakan ‘Sambo’ bukan berarti menyamakan setiap polisi dengan Ferdy Sambo. Dengan kata lain, meneriakan ‘Sambo’ bukan berarti semua polisi memiliki moral yang bejat seperti Ferdy Sambo.

Terlalu rendah bila kita memahaminya terbalik, sebab masih jauh lebih banyak deretan oknum polisi yang berkinerja baik, tegas, disiplin, bermoral, memiliki kematangan afeksi, cerdas, dan bijaksana.

Teriakan Sambo bisa berarti luapan akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap kepolisian dan upaya pencekalan kebebasan berbicara di ruang publik adalah perlawanan terhadap demokrasi.

Mengapa kita tidak memahami lebih cerdas bahwa teriakan itu lebih kepada rambu-rambu moral agar tidak terjadi lagi kasus seperti Ferdy Sambo? Idiom Sambo adalah imperatif moral masyarakat sebagai bukti kecintaan terhadap kepolisian.

Lantas, apa yang salah dari idiom itu? Kata ‘Sambo’ tidak salah, yang salah adalah defisit pemahaman kita sesuai dengan karakter kita yang mencerminkan karakter bangsa.

Bangsa ini adalah bangsa yang mudah tersinggung ketika kata dan bahasa yang menyeruak di ruang publik diterjemahkan untuk kepentingan sendiri. Bangsa ini mudah menghakimi dan membunuh karena kata dan bahasa.

Benar yang dikatakan Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan dari Yahudi bahwa kejahatan yang banal lebih sering terjadi bukan karena moral yang terdekandensi.

Banalitas kejahatan lebih sering terjadi karena kesalahan dan kedangkalan berpikir. Problem epistemologi yang berhubungan dengan ketidakmampuan manusia berpikir jernih dan sehat berpotensi melahirkan brutalitas dan perilaku barbar.

Menjaga polisi merawat demokrasi

Menurut J. Skolnick (1996), ada dua unsur yang memengaruhi tugas polisi, yaitu unsur bahaya dan unsur kewenangan.

Unsur bahaya mendorong polisi untuk selalu curiga dan unsur kewenangan dapat berubah menjadi sewenang-wenang.

Kecurigaan begitu dekat dengan polisi karena pengalaman kejahatan dan bahaya selalu terjadi pada waktu yang tidak dapat dipastikan.

Kecurigaan terhadap bahaya atau pelanggaran hukum mendorong polisi untuk sewaktu-waktu dapat berbuat sewenang-wenang.

Pengamatan Skolnick yang adalah orang Amerika ini cukup akurat karena dapat berlaku di kepolisian mana pun.

Hari ini terjadi pada aparat kepolisian di tanah air, khususnya di NTT, yang suka mencurigai masyarakat dan akhirnya berbuat sewenang-wenang.

Beberapa kasus anarkis yang telah diuraikan di atas telah membuktikan bahwa ada oknum polisi yang terperangkap dalam dua unsur tersebut.

Oleh karena itu, mari kita merumuskan formula yang tepat untuk menjaga marwah kepolisian kita sekaligus merawat demokrasi yang ‘sakit’.

Merujuk pada pengamatan Skolnick dan fakta yang terjadi, maka menurut saya, kewaspadaan dan dan kemampuan berdialog adalah kuncinya.

Cara menjauhkan diri dari kecurigaan adalah waspada bila bahaya mengancam, bukan mencurigai dan kemudian menginterogasi dan sewenang-wenang.

Tanpa kemampuan berdialog, dialektika pemahaman tidak dapat dibangun. Untuk itu alat kekuasaan ini perlu dibimbing untuk memahami dialog, demokrasi, dan HAM.

Dialog membuka ruang untuk men-share pemahaman agar tidak terjadi tuding menuding.

Kasus Ferdy Sambo cukup menjadi tamparan keras untuk polisi kita. Seharusnya kasus besar ini menjadi alat yang ‘menobatkan’ aparat kepolisian.

Bila ini adalah waktu yang tepat untuk ‘bertobat’, maka saban hari Polri harus mampu menampilkan diri sebagai penegak hukum dan pelindung rakyat yang selalu waspada akan setiap kejadian, tak menampakkan sifat curiga, dan selalu tahu tugas dan kewenangannya tanpa sewenang-wenang.

Irjen Pol (Purn) Anton Tabah pernah mengutip Walter Hartinger, seorang ahli kepolisian Amerika Serikat, apabila kita mau melihat citra polisi, kita pun dapat melihat bagaimana kondisi masyarakat yang bersangkutan pada waktu yang sama.

Polisi hanya bagaikan cermin yang memantulkan wajah-wajah masyarakatnya. Jadi, seandainya marwah dan citra buruk polisi tercipta boleh jadi begitu pula kondisi masyarakatnya ketika itu.

Terhadap hal itu semua, jargon Bapak Presiden Indonesia Joko Widodo harus tetap berkumandang, tidak hanya bersarang pada perilaku, polisi tetapi juga pada perilaku masyarakat.

Tugas kita bersama adalah memastikan ruang publik dimanfaatkan sebagai medium demokrasi dan menolak tegas tindakan represif kekuasaan kepada masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com