Memang, cara kerja programatik tersebut jadi akan terdengar baru jika dihadap-hadapkan pada budaya politik elektoral di Indonesia selama ini. Namun justru karena itulah parpol baru menjadi variabel yang paling mungkin untuk melakukan perubahan.
Hanya saja, sayangnya, parpol baru di Indonesia tetap tidak akan bisa melakukannya dengan mudah.
Faktanya, mereka harus berhadapan dengan sistem patrimonialisme politik di Indonesia yang, bukan hanya telah dibentuk oleh lapis-lapis kenyataan historis di masa lampau, melainkan juga telah susah payah dipertahankan oleh hampir seluruh elite politik selama puluhan tahun.
Pada gilirannya, sistem ini akan menghalangi segala ide yang ingin memperbarui dinamika elektoral di Indonesia.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, parpol baru dengan segmentasi milenial, pada akhirnya tetap harus menggunakan nama besar Joko Widodo sebagai bandul politik untuk meraih atensi pemilih.
Atau partai Ummat yang juga masih tampak mengandalkan reputasi Amien Rais, bapak reformasi Indonesia, untuk mendulang suara.
Sama halnya dengan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) yang sepenuhnya terasosiasi dengan Anis Matta dan Fahri Hamzah, dua tokoh politik penting di Indonesia.
Adapun jika dibedah, cara bergerak PSI, partai Ummat dan partai Gelora tersebut menunjukkan bahwa sebetulnya, dalam upaya untuk mencapai kekuasaan, parpol mengalami dilema hebat.
Yaitu dilema antara bekerja secara ideologis dengan mengusung tema perubahan di satu sisi atau bergerak secara pragmatis guna mendapatkan kursi parlemen selekas-lekasnya di sisi yang lain.
Bekerja ideologis berarti ingin memperbaiki sistem. Sementara bergerak pragmatis berarti mengakui bahwa sistem yang eksis masih baik dan oleh karenanya layak untuk diikuti.
Bekerja ideologis berarti memikirkan demokrasi elektoral Indonesia secara komprehensif. Sementara bergerak pragmatis merujuk pada upaya untuk memprioritaskan diri parpol sendiri.
Sayangnya, penyelesaian atas dilema tersebut, apakah ideologis atau pragmatis, masih dipengaruhi oleh kultur politik parpol-parpol di dalam parlemen.
Padahal, kultur politik elektoral parlemen masih berorientasi pada patrimonialisme sebagaimana disinggung pada bagian awal tulisan ini.
Tak cukup sampai di situ, penghapusan patrimonialisme bahkan menjadi semakin jauh panggang dari api karena semakin kemari, para patron dari parpol parlemen tersebut justru dipromosikan secara demikian kuat sebagai bakal calon presiden untuk pemilu mendatang.
Buktinya, jika popularitas dari nama-nama tokoh yang menjadi bandul politik masing-masing parpol di dalam parlemen harus dibedah, parpol-parpol parlemen di Indonesia setidaknya sampai bisa dijelaskan ke dalam dua kategori.