Berbeda dengan perlindungan anak yang bersifat umum, UU Perlindungan Anak menetapkan belasan kategori anak yang harus memperoleh perlindungan khusus.
Salah satunya adalah anak-anak yang mengalami stigmatisasi akibat labelisasi atau pun perbuatan orangtua mereka.
Anak-anak teroris dan terduga teroris, saya pandang, termasuk dalam kategori tersebut. Persekusi, tak bisa dibantah, merupakan bukti keras dari adanya stigmatisasi tersebut.
Bentuk perlindungan khusus yang diberikan kepada mereka adalah konseling, pendampingan sosial, dan rehabilitasi sosial.
Perlindungan khusus itu dikemas sebagai kewajiban sekaligus tanggung jawab yang diembankan ke—secara berurutan—pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya.
Sayangnya, hingga catatan ini disusun, saya tidak menemukan ada data tentang seberapa jauh perlindungan khusus itu telah diterapkan khusus bagi anak-anak teroris dan terduga teroris.
Membaca UU Perlindungan Anak secara lebih seksama, boleh jadi anak-anak yang sama juga layak masuk dalam kategori lainnya: anak korban jaringan terorisme.
Jika demikian adanya, maka anak-anak itu seharusnya memperoleh perlindungan khusus dalam bentuk edukasi tentang pendidikan dan ideologi, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi, dan pendampingan sosial.
Dari situ dapat terlihat, ragam perlindungan khusus itu memiliki kemiripan dengan jenis-jenis perlindungan khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak korban stigma.
Perbedaanya adalah, apabila anak-anak terduga teroris juga layak dimasukkan ke dalam kategori korban jaringan terorisme, mereka diberikan materi edukatif tentang kebangsaan dan sejenisnya.
Dengan penyelenggaraan perlindungan khusus tersebut, seharusnya tidak ada lagi anak-anak terduga teroris yang diusir dan dipaksa putus sekolah.
Seiring dengan pengamanan terhadap orangtua mereka, negara seketika hadir pula merealisasikan perlindungan khusus.
Personel Bhabinkamtibmas, misalnya, dapat secepatnya menghimpun masyarakat setempat tentang operasi Densus 88 serta mengingatkan warga akan adanya perintah UU Perlindungan Anak terkait perlindungan khusus.
Kantor-kantor dinas terkait (misalnya Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas Pendidikan, serta Dinas Sosial) juga dapat segera bekerja sesuai isi Peraturan Pemerintah 78/2021.
Dalam praktiknya di lapangan, berbagai komponen masyarakat tentunya dapat diikutsertakan.