(8) Semoga kiranya rasa penyesalan dan permohonan maaf ini dapat diterima dengan terbuka dan saya siap menjalani proses hukum ini dengan baik (9) sehingga segera mendapatkan keputusan yang membawa rasa keadilan bagi semua pihak. Terima kasih semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua.
Hormat saya
Ferdy Sambo, SH, SIK, MH Inspektur Jenderal Polisi.
Menarik untuk melihat bahwa Ferdy tak mengajukan permintaan maaf kepada keluarga Brigadir J.
Lazare katakan bahwa dalam permintaan maaf yang efektif, pelaku harus dengan jelas dan lengkap mengakui pelanggarannya dan menjelaskan kepada siapa ia melakukannya dan siapa saja yang sakit hati.
Bagaimanapun, pengakuan ini tak ada. Muncul satu kali pernyataan “atas perbuatan saya yang telah saya lakukan” (nomor 3), tapi tak ada rinciannya: Perbuatan apa? Membunuh Brigadir J? Bukan itu yang ia maksud melainkan: “...pada jabatan senior…” (nomor 2).
Ferdy minta maaf atas porak-porandanya jabatan beberapa rekan sejawat. Ia juga jelas minta maaf bukan kepada keluarga J.
Ia minta maaf kepada atasan dan rekan sejawat di POLRI (nomor 4). Padahal, Ferdy akan disidang karena kasus pembunuhan.
Rasa penyesalan karena telah membunuh tak terungkap sama sekali dalam surat. Hal yang membuat surat ini menjadi lebih menarik lagi untuk dikaji adalah karena ia minta maaf bukan kepada rekan-rekan satu institusi, melainkan kepada rekan-rekan satu institusi yang terkena dampak langsung (nomor 2 dan 5).
Elemen lain dalam permintaan maaf yang efektif adalah adanya ungkapan niat untuk tidak mengulangi pelanggaran yang sama. Kita bisa langsung lihat bahwa hal ini tak ada.
Ferdy juga tidak mengekspresikan adanya penyesalan, rasa malu dan kerendahan hati, yang menunjukkan bahwa ia mengakui penderitaan korban yang disakiti.
Pertama, dia kehilangan fokus mengenai siapa korban yang sesungguhnya: Keluarga Brigadir J, rakyat Indonesia yang seharusnya diayomi POLRI, dan POLRI sendiri.
Masyarakat dalam statusnya sebagai warga negara Indonesia sudah lama kehilangan rasa percaya terhadap POLRI dan kejanggalan kasus Ferdy membuat rasa percaya mereka berada di titik nadir.
Kedua, Ferdy juga kehilangan orientasi mengenai apa sesungguhnya kesalahan yang ia lakukan.
Ia merasa bersalah atas jabatan seniornya yang hilang akibat kasus pembunuhan terhadap J (nomor 2), bukan atas pembunuhan itu sendiri.
Jadi, dari kedua poin ini kita bisa mengerti mengapa rasa penyesalan dan malu yang ia ungkapkan tak bisa diterima oleh masyarakat yang merindukan keadilan: Ferdy tak tahu siapa korban yang sesungguhnya dan apa sebenarnya kesalahan yang ia perbuat.