Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada

Polri Melawan Arus

Kompas.com - 18/08/2022, 11:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ANDAI sikap publik terhadap Polri disurvei hari ini, barangkali akan lebih banyak responden yang memberikan penilaian negatif.

Wajar. Pasalnya, tragedi Duren Tiga Berdarah memang mengguncang keinsafan masyarakat luas tentang betapa besarnya penataan diri yang perlu Polri lakukan.

Pada sisi lain, sebagai pengingat, terdapat sejumlah catatan positif tentang kerja Polri yang mengandung nilai-nilai yang sangat fundamental.

Pertama, KPK mendapat sorotan luas akibat pemberhentian yang dilakukan terhadap puluhan personelnya yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan.

Mereka yang dipecat itu diberikan kartu merah dengan alasan tidak mungkin lagi untuk dibenahi KPK.

Akal sehat pun spontan bertanya-tanya, kalau lembaga negara sekelas KPK saja sudah lempar handuk dengan membuat para personel itu “masuk kotak”, siapakah lagi yang bisa diharapkan mampu membenahi mereka?

Tapi Polri, tanpa seleksi sama sekali, justru membuka pintu selapang-lapangnya kepada seluruh mantan ponggawa KPK itu untuk bergabung ke dalam Polri.

Sejumlah mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai dilantik di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Kamis (9/12/2021). Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo resmi melantik 44 mantan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto Sejumlah mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai dilantik di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Kamis (9/12/2021). Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo resmi melantik 44 mantan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.
Mereka, rencana Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, akan dihimpun dalam semacam Korps Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.

Pembentukan Kortas Tipikor, terang Kapolri, dilatarbelakangi oleh gairah Polri untuk memperbaiki indeks persepsi korupsi. Januari lalu, Polri dikabarkan telah resmi mengusulkan pembentukan Kortas Tipikor itu ke Sekretariat Negara.

Perekrutan eks-personel KPK tanpa tes itu memiliki makna sangat dalam. Perekrutan sedemikian rupa terang-terang menunjukkan tentangan Polri terhadap “kebijakan” KPK.

Itu, jelas, langkah mbalelo yang luar biasa berani. Pasalnya, setelah KPK bersikap, pimpinan nasional sekaliber Presiden Jokowi pun tidak kuasa berbuat apa pun untuk mengatasi situasi yang dipandang luas sebagai kejanggalan KPK itu.

Demikian pula DPR. Praktis, semua masukan korektif Ombudsman juga “masuk ke dalam laci”. Hanya Polri, yang tanpa banyak bernarasi di publik, langsung bersikap melawan arus.

Polri menolak logika TWK yang abai terhadap kinerja sebagai parang pemenggal leher para karyawan.

Polri seakan ingin mengatakan bahwa korps Tribrata memiliki pemaknaan tersendiri yang seharusnya dihidup-hidupkan pada hari ini, oleh semua pihak atas kata ‘nasionalisme’.

Polri juga secara tidak langsung memberikan koreksi tentang bagaimana nasionalisme itu seharusnya ditakar, di samping memiliki desain jangka panjang tentang bagaimana menyikapi implikasi dari dari tes yang bermasalah itu.

Tinggal lagi ke depannya, setelah Kortas Tipikor resmi dibentuk, diharapkan korps tersebut akan berkiprah signifikan.

Baik bagi pemberantasan korupsi secara umum maupun—lebih-lebih—perbaikan organisasi Polri agar bersih dari korupsi sebagai salah satau subkultur menyimpang yang secara universal ada di setiap institusi kepolisian.

Kortas Tipikor semakin krusial, karena berbeda dengan KPK yang bersifat ad hoc, Polri adalah lembaga penegakan hukum yang bersifat permanen.

Status itu mengharuskan Polri memiliki kesanggupan untuk sewaktu-waktu mengambil alih posisi sebagai pisau kembar bersama Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi.

Kedua, penyelenggaraan kompetisi mural oleh Polri. Kapolri mengakui, lomba itu terinspirasi dari peristiwa pelarangan kebablasan terhadap mural ‘404 Presiden Jokowi Not Found’.

Peserta lomba Bhayangkara Mural Festival 2021 tengah menyelesaikan karyanya di Lapangan Bhayangkara, Jakarta, Sabtu (30/10/2021).KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D Peserta lomba Bhayangkara Mural Festival 2021 tengah menyelesaikan karyanya di Lapangan Bhayangkara, Jakarta, Sabtu (30/10/2021).
Dari lomba mural itu, keluar sebagai pemenangnya adalah pelukis dengan mural yang memuat kritik keras terhadap Polri.

Lagi-lagi, perhelatan lomba mural itu diadakan di tengah-tengah sorotan khalayak luas terhadap para elite yang dinilai antikritik.

Lewat lomba mural itu, nilai yang Polri tonjolkan adalah bahwa sikap keterbukaan sudah seharusnya dipunyai oleh setiap personel Polri, bahkan oleh seluruh pembuat kebijakan.

Sikap sedemikian rupa patut dicatat sebagai fajar baru bagi kesantuan (civility) yang pada waktu-waktu sebelumnya dirasakan menyusut dari institusi Polri.

Agenda berikutnya adalah bagaimana Divisi Sumber Daya Manusia Polri serta Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri dapat menyerap sekaligus menerjemahkan spirit di balik lomba mural itu ke segenap personelnya.

Catatan ketiga—tak lain—adalah kasus Duren Tiga Berdarah. Pengungkapan kasus ini belum mencapai titik final.

Penilaian terhadap kerja Polri dalam tragedi mengerikan itu patut dilandaskan pada empat parameter keberhasilan. Yakni ketuntasan, objektivitas, keutuhan (komprehensif), dan transparansi.

Dari sisi ketuntasan, kerja Polri baru bisa dikatakan rampung apabila nantinya terdapat putusan pidana dan etik yang adil bagi pihak-pihak yang bersangkut paut dengan aksi pembunuhan dan tindakan menghalang-halangi penegakan hukum atas pembunuhan tersebut.

Ketuntasan harus disertai dengan keutuhan. Artinya, di samping mengejar pertanggungjawaban pidana dan etik dari masing-masing pihak secara individual, Polri juga sepatutnya memberikan pertanggungjawabannya sebagai sebuah institusi.

Polri sudah sepantasnya secara rendah hati menerima pandangan bahwa kasus Duren Tiga Berdarah dan obstruction of justice yang menyusul kemudian adalah sangat mirip dengan kejahatan sistemik atau kejahatan terorganisasi.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Polri kecuali membongkar habis segala bentuk kode senyap (code of conduct) yang menaungi kasus tersebut.

Kode senyap, yang ditandai kebiasaan personel lembaga penegakan hukum menutup-nutupi kesalahan sejawat satu korps mereka, adalah subkultur menyimpang yang hidup subur seusia dengan institusi kepolisian itu sendiri.

Indikasi bahwa kode senyap juga merayap-rayap di awal pengungkapan kasus Duren Tiga Berdarah bisa ditangkap jelas oleh masyarakat, Menko Polhukam Mahfud MD, bahkan Presiden Jokowi.

Hanya Kompolnas yang dengan naifnya tidak bekerja cermat untuk menangkap atau mengakui adanya gejala gerakan tutup mulut tersebut.

Karena—perkiraan saya—kode senyap juga hidup di lembaga Polri, maka masuk akal bahwa Polri juga sempat memperlihatkan kegagapannya.

Atas dasar itu, permintaan Kapolri pada Juli, lalu agar publik memberikan dukungan bagi kerja investigasi Polri dapat dimaknai sebagai indikasi bahwa Polri berhadap-hadapan dengan tembok tebal yang ingin menyimpangkan pengungkapan kasus Duren Tiga tersebut.

Dan tidak ada sumber kekuatan lain, kecuali semangat dan kepercayaan dari masyarakat, yang dapat Polri gunakan untuk menjebol tembok senyap itu.

Pertanggungjawaban Polri sebagai institusi atas kasus Duren Tiga Berdarah seyogianya meliputi aspek restrukturisasi dan aspek anggaran.

Restrukturisasi sudah mulai bergerak, ditandai pembubaran Satgassus dan pergantian sejumlah pejabat Polri.

Bahkan, pada hari-hari mendatang, tidak tertutup kemungkinan banjir bandang internal Polri masih akan terus berlangsung.

Harapan luas, topan badai itu akan semaksimal mungkin membersihkan Polri dari anasir-anasir yang menegakkan tembok senyap tadi.

Berikutnya adalah pertanggungjawaban dari sisi anggaran. Masa pertanggungjawaban anggaran memang belum tiba.

Namun sebagai perbandingan, mengacu studi di negeri Paman Sam, “biaya” bagi satu kasus fatal shooting adalah setara 1,5 juta dolar Amerika Serikat. Biaya itu, bahkan satu sen pun, harus lembaga kepolisian pertanggungjawabkan.

Atas dasar itu, penting bagi DPR dan Presiden nantinya untuk meninjau ulang anggaran Polri, sebagai konsekuensi dari peristiwa Duren Tiga Berdarah.

Idealnya, Polri sejak kini melakukan analisis kebutuhannya secara lebih cermat. Dengan analisis yang baik, Polri akan dapat merelokasi anggaran yang dimilikinya ke pos-pos yang lebih relevan untuk kepentingan—antara lain—penajaman standar etik, pelurusan jiwa korsa, penguatan kemampuan investigasi, dan peningkatan efektivitas komunikasi publik.

Berlanjut ke parameter keberhasilan berikutnya, yaitu objektivitas. Dari sisi objektivitas, Polri harus bisa memastikan bahwa kerja penyidikan atas kasus Duren Tiga Berdarah diletakkan pada kaidah normatif dan sesuai rambu-rambu keilmuan (saintifik), serta tidak berkelak-kelok dengan menjadikan diskresi sebagai tamengnya.

Terakhir, transparansi. Profesionalisme kerja penyidik dan inspektorat memang elemen kunci. Namun kerja itu juga mutlak harus ditopang oleh kehumasan yang efektif.

Humas Polri-lah yang bertugas mengomunikasikan penanganan kasus Duren Tiga Berdarah oleh Tim Khusus dan Inspektorat Khusus—keduanya bentukan Mabes Polri—ke media dan masyarakat seluas-luasnya.

Pertanyaanya, seberapa jauhkan keberhasilan Polri menangani kasus pembunuhan dan obstruction of justice Duren Tiga Berdarah?

Dengan memakai empat parameter di atas, nilai bagi Polri saya bubuhkan dengan tinta biru atau hitam. Mungkinkah nilai Polri dalam rapor Duren Tiga Berdarah itu ditulis dengan tinta emas?

Kasus Duren Tiga Berdarah lebih dari sekadar persoalan pidana. Kasus tersebut merupakan kesempatan baik bagi Polri—sebagaimana institusi-institusi kepolisian lainnya—untuk membuktikan kesungguhan korps Tribrata dalam melawan musuh terbesarnya: diri sendiri.

Tentu, Polri membutuhkan kekuatan nyali luar biasa untuk melakukan pembongkaran besar-besaran terhadap rupa-rupa subkultur menyimpang yang telah mewabah selama bermasa-masa itu.

Perekrutan eks-personel KPK dan penghargaan bagi pelukis mural (pengritik!) Polri memunculkan tanda-tanda alam yang positif tentang Polri.

Tanda alam berikutnya, bahkan sangat monumental, potensial datang dari terpenuhinya empat parameter keberhasilan penanganan tragedi Duren Tiga Berdarah.

Allahu a’lam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com