Karenanya Kristen dan Islam yang lahir di timur tengah, Tuhanya di sembah di Eropa dan nusantara.
Sejauh aspek esoterisme agama, tauhidnya Islam, semua manusia memiliki fitrah ke Tuhan, fitrah artinya “fathoro” terbelah, baru, ciptaan.
Semua ruh manusia tercipta akan kembali ke Tuhan. Setiap manusia secara esensial, niscaya, keberadaanya bergantung pada Tuhan.
Karenanya kebebasanya tidak mandiri mutlak. Tapi Tuhan Maha dan sumber kemutlakan, universal, abstrak dan abadi.
Sukarno dan Notonegoro juga memahami bahwa nusantara adalah bahan asli negara Indonesia dengan seluruh sifatnya menjadi menifestasi aksidental, tercermin dalam ragam suku, budaya, dan bahasa.
Tapi semua sifat aksidental itu disatukan oleh sifat esensial yang abstrak, universal dan abadi. Karenanya sila pertama dan kedua menjadi dasar negara Indonesia. Menjadi basis ideologi negara dan bangsa Indonesia.
Aneka ragam kebinekaan itu tumbuhnya begitu dinamis, karena kebinekaan itu didasari manusia-manusia yang bebas dari penindasan atas nama apapun.
Sila pertama dan kedua itu diikat oleh pembukaan UU. Ikatan suci, kontrak suci, keniscayaan berdirinya negara Indonesia.
Kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan, rakyat Indonesia secara konstitusional memiliki kewajiban mengenyahkan penindasan. Tanpa itu negara tak ubahnya berdiri diatas fundasi yang rapuh.
Kontrak suci itu mengikat secara esensial seluruh manusia di dunia pada Tuhannya. Kontrak suci itu dijadikan dasar negara atau tidak, berlaku pada setiap manusia yang percaya pada fitrah kesucian diri manusia pada Tuhannya.
Tanggal 18 Agustus 1945, para arsitek dan jenius bangsa Indonesia telah memilih Pancasila dan UUD menjadi legitimasi keberadaan dirinya dengan negaranya di bawah payung kesucian selama-lamanya.
Itulah leistar statis, itulah fundasionalisme Aristotelian, itulah karakter esensialis-eksistensial sifat asli bangsa Indonesia.
Para tokoh pahlawan nusantara dan Indonesia yang mengikat dirinya pada Tuhannya sesuai pembukaan UU, saat mati dihadapan kolonial adalah martir, adalah syuhada, adalah representasi Amanah Penderitan Rakyat (APR) di seluruh dunia.
Itulah kenapa Sukarno, menjadikan Husein sebagai representasi kebenaran. Tidak menjadikan Muawiyah sebagai reprentasi setengah kebenaran, bisa benar, bisa salah atau apalagi kebenaran mutlak. Kemartiran Husein di mata Sukarno adalah leitar statis, abadi, representasi kebenaran mutlak.
Husein adalah sahabat nabi mulia, adalah cucu kesayangan. Keputusan menyerahkan ruhnya di medan laga tidak ada urusan dengan kekuasaan aksidental.
Jumlah sedikit pasukanya melawan ribuan pasukan Muawiyah bukan kesalahan strategis, bukan bunuh diri dan irasional. Kesayahidanya adalah pemantik kesadaran akan kebenaran sejati. Penghancur karat egoisme.
Keberanian Husein, kerabat dan keluarganya yang sedikit adalah total soal kebenaran esensial, sebagaimana pengorbanan Yesus ditiang salib, sebagaimana pengorbanan Ismail.
Siapapun pahlawan nasional yang mati dalam keadaan esensi ruhnya seperti Husein, pasti mutlak Pancasilais.
Sebagaimana kebutuhan mahluk pada oksigen dan air, bukan pilihan minum dari rasa haus. Tapi kebutuhan hausnya dahaga kebenaran pada setiap makluk.
Kesyahidan Husein adalah inovasi, kemajuan dan altruisme. Penyadar dengan cara tak biasa.
Berlawanan dengan karakter Husein, karakter Muawiyah dan Khawarij adalah representasi kemungkaran, egoisme total dan gelap.
Husein vs Muawiyah serta khawarij bukanlah dua kebenaran dalam satu nafas dan waktu. Bukanlah A pada saat yang sama adalah B. Bukanlah A dan B adalah sama-sama ciptaan Tuhan yang bertolak belakang dengan kebebasan manusia.
Bukan pula kebenaran dan kebatilan dalam satu cawan ruh suci. Husein adalah laku kebebasan di bawah bimbingan risalah.