KOMPAS.com – Whistleblower memiliki peran yang sangat penting dalam sistem peradilan pidana.
Adanya whistleblower dapat membantu para penegak hukum dalam mengungkap kasus hukum.
Pentingnya peran whistleblower ini membuat beberapa lembaga di Indonesia mengembangkan sistem online pelaporan whistleblower, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa (LKPP), dan lain-lain.
Baca juga: Perbedaan Justice Collaborator dan Whistleblower
Whistleblower adalah pelapor atau pengungkap fakta yang tidak terlibat dalam kejahatan yang ia laporkan (bukan termasuk pelaku).
Sementara itu, menurut Mardjono Reksodiputro, arti whistleblower adalah orang yang membocoran rahasia atau pengadu.
Di dalam peraturan perundang-undangan, definisi whistleblower juga tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011.
Aturan ini menyebut whistleblower sebagai pelapor tindak pidana.
Menurut SEMA tersebut, whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain.
Floriano C. Roa menyebut, ada dua jenis pelaporan yang dapat dilakukan whistleblower, yakni:
Baca juga: Apa Itu Justice Collaborator?
Salah satu contoh kasus yang dibongkar oleh whistleblower adalah kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Citemu, Kecamatan Mundu, Cirebon, Tahun Anggaran 2018-2020 yang menyeret Kepala Desa, Supriyadi.
Dalam kasus tersebut, negara mengalami kerugian hingga Rp 818 juta.
Awalnya, kasus tersebut dibongkar oleh Nurhayati, Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu.
Namun, setelah membantu pihak kepolisian dalam penyidikan kasus tersebut selama hampir dua tahun, Nurhayati juga ditetapkan sebagai tersangka pada akhir 2021.
Penetapan status tersangka ini menuai polemik. Hal ini mengingat status Nurhayati yang merupakan pelapor.