Di sisi lain, saya pun melihat hal yang sama dengan Ganjar Pranowo. Terlepas diketahui oleh Ganjar atau tidak, barisan pendukungnya pun memilih strategi perang dingin dengan Puan di luar arena kepartaian.
Di saat sikap Ganjar yang santai dan dingin menghadapi berbagai tekanan beberapa pihak di internal partai PDIP, satu per satu barisan relawan Ganjar di berbagai provinsi mendeklarasikan dukungan terbuka kepada Ganjar untuk maju menjadi calon presiden di laga 2024.
Beberapa hari belakangan, beriringan dengan berita kontroversi pelarangan Ganjar keluar kota, barisan ulama dan cendekiawan Muslim Jawa Tengah menyatakan dukungan kepada Ganjar Pranowo, kemudian diikuti dengan ratusan mantan kader PDIP DKI Jakarta juga melakukan hal yang sama.
Tak sampai di situ saja, para petani tebu di Dompu mengikutinya sehari kemudian, lalu dukungan sejenis kembali bergema di Sumatera Selatan, Banten, dan Bandung.
Terlepas diketahui oleh Ganjar dan Puan atau tidak, ternyata terjadi dialog peristiwa yang menggambarkan "perang dingin" antara pendukung dan relawan Ganjar dengan kader-kader internal PDIP yang belakangan cenderung menyudutkan Ganjar Pranowo.
Dialog peristiwa tersebut, bagi saya pribadi sebagai pengamat, tentu sangat menarik untuk dicermati.
Tentu bukan hal yang baru, karena Jokowi dan Ahok sudah lebih dulu bermain dengan kartu "relawan politik."
Dan karena itu menjadi menarik mengingat Jokowi terbilang cukup berhasil memainkannya (Projo), tapi Ahok justru kurang berhasil dengan uji coba tersebut (Teman Ahok).
Dan pada akhirnya, baik Jokowi maupun Ahok, harus berdamai dengan partai mengingat keterlibatan partai sangat vital di dalam pemilihan.
Mempertentangkan secara terbuka antara relawan politik, yang cenderung berseberangan dengan partai, dengan partai politik memiliki risiko yang tak ringan.
Karena relawan politik belum memiliki legitimasi konstitusional untuk bermain secara terbuka di dalam panggung politik, berbeda dengan partai politik yang memang menjadi prasyarat fundamental konstitusional sebagai pengusung pasangan calon presiden.
Jokowi nampaknya cukup berhasil mengelola dua ranah politik tersebut. Jokowi pada akhirnya berhasil mendapatkan dukungan partai politik yang hingga pada pemilihan 2019 lalu berhasil berdampingan dengan relawan-relawan politik pendukungnya.
Sementara Ahok dan Teman Ahok, justru tersandung oleh pertentangan antara Teman Ahok dan partai-partai, yang pada akhirnya menenggelamkan peran Teman Ahok di dalam Pilkada DKI tahun 2017 lalu.
Bahkan pada akhirnya Teman Ahok harus berurusan dengan KPK dan memaksa kelompok relawan tersebut mundur secara teratur setelah Ahok dinyatakan kalah.
Fakta empiris atas uji coba relawan politik itulah yang menjadi poin menarik atas lahirnya relawan-relawan Ganjar hari ini, yang nampaknya masih belum bertemu irisan politik dengan kepentingan partai, terutama PDIP.
Ganjar harus belajar banyak dari kedua contoh di atas dan harus mampu menjadi jembatan yang bijak antara aspirasi para relawan dengan aspirasi partai di mana hingga saat ini Ganjar berada.
Memang pemilihan presiden masih dua tahun lagi, tapi Ganjar bagaimanapun harus mampu mengelola konflik di antara dua faksi politik tersebut dengan baik agar tidak terjadi perang terbuka di kemudian hari.
Untuk itu, Jokowi adalah referensi politik yang layak ditiru oleh Ganjar. Keberhasilan Jokowi dalam hal ini di tataran praksis politik, para relawan Jokowi tetap mendapat ruang untuk memberikan dukungan penuh dan melakukan kerja-kerja politik tanpa harus berhadapan secara terbuka dengan partai-partai koalisi.
Walhasil, Jokowi memenangkan dua kali pertarungan sengit dengan Prabowo Subianto dan karena itu layak dijadikan acuan oleh Ganjar dan para relawan politiknya. Semoga pemikiran sangat sederhana ini bermanfaat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.