Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah Kerusuhan 27 Juli

Kompas.com - 27/07/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta terjadi, dari 128 anggota Dewan yang terhormat asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Senayan sekarang ini mungkin ada yang masih bersekolah atau tengah berkuliah. Tetapi yang jelas, pengorbanan para martir yang mempertahankan kantor partai dari serbuan batu dan tembakan gas air mata aparat telah memberikan “elan” bagi mereka yang duduk di kursi parlemen. Mereka bisa duduk nyaman di parlemen, tentunya karena selain menang pemilu juga karena marwah partai yang telah terbangun dan teruji dari perjalanan panjang sejarah.

Kesejarahan partai tumbuh karena “DNA” perlawanan dari tindasan rezim lalim. Pernah menjadi pemenang yang tersisih di saat awal reformasi, menjadi oposisi selama dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta menjadi pemenang di dua kali pemerintahan Jokowi. Akankah PDI-P bisa menang hattrick di Pemilu 2024? Ataukah siklus kemenangan partai hanya terhenti di dua pemilu sebelumnya?

Baca juga: Sekjen PDI-P Minta Pemerintah dan Komnas HAM Ungkap Aktor Intelektual Peristiwa Kudatuli

Dari berbagai survei yang digelar sejumlah lembaga survei sepanjang 2021 hingga 2022, PDI-P selalu unggul dan menduduki pemuncak peserta pemilu jika skenario pemilu digelar di saat-saat ini. Nama PDI-P selalu masuk dalam mindset pemilih, baik pemilih jadul maupun pemilih pemula.

Ketokohan Megawati Soekarnoputri, berjalannya roda organisasi dari tingkat pusat hingga anak ranting serta kinerja kepala negara, kepala daerah, serta wakil rakyat menjadi parameter penilaian para responden.

Menyitir ucapan Presiden Soekarno, “Jangan melupakan sejarah karena bangsa yang besar tidak akan melupakan sejarahnya” sepertinya sangat tepat dikaitkan dengan peristiwa kelam yang terjadi di depan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta yang terjadi di hari ini, 26 tahun silam. Harus diakui, penyerbuan brutal yang dilakukan aparat untuk memberangus perlawanan kader dan simpatisan PDI sudah mulai “dilupakan”. Bukan hanya oleh publik, bahkan kader-kader PDIP pun banyak yang tidak paham dengan sejarah partainya.

“Teriakan serbu bercampur lemparan batu, menyeruak di suatu pagi. Mata yang terlelap usai berjaga sepanjang malam, sontak membelalak karena tidak siap. Detik-detik penyerang berbadan tegap dan bersepatu hitam serdadu merangsek maju. Mereka kalap, kami tidak siap. Mereka bersemangat di-back up aparat, kami tetap bertahan mempertahankan keyakinan. Hingga akhirnya, luruh darah kemana-mana,” demikian pengakuan salah seorang saksi sejarah yang ikut mengamankan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat saat Kerusuhan Sabtu Kelabu atau Kerusuhan 27 Juli 1996 masih terus terngiang-ngiang.

Peristiwa yang selalu dikenang di setiap tanggal 27 Juli ini, dikenal dengan “Kudatuli” adalah tonggak perjuangan demokrasi sebelum kekuasaan tiran dan korup Soeharto tumbang.

Berjarak satu dekade dengan peristiwa Kudatuli, di negeri jiran Filipina juga dengan gegap gempita ketika rakyat berhasil menumbangkan kekuasaan zalim Ferdinand Marcos dengan people power. Perjuangan menuntut demokrasi antara Filipina dengan Indonesia memiliki kesamaan simbol, yakni munculnya sosok perempuan. Corazon Aquino di Filipina dan Megawati Soekarnoputeri di Indonesia.

Peristiwa Kudatuli adalah titik kulminasi keputusasaan rezim Soeharto yang tidak menginginkan Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri – putri tertua mendiang Presiden Soekarno – muncul di pentas politik nasional. Megawati dianggap pengganggu stabilitas kekuasan Soeharto dan konco-konconya yang telah lama bercokol sejak Bung Karno didongkel tahun 1966.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus (kiri) dan sejumlah korban kerusuhan 27 Juli 1996 mendatangi Bareskrim Polri, Senin (29/6/2015), untuk menanyakan berkas Letjen (Purn) Sutiyoso sebagai tersangka.Fabian Januarius Kuwado/KOMPAS.com Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus (kiri) dan sejumlah korban kerusuhan 27 Juli 1996 mendatangi Bareskrim Polri, Senin (29/6/2015), untuk menanyakan berkas Letjen (Purn) Sutiyoso sebagai tersangka.
Dari Kudatuli menjadi perlawanan hukum

Serangkaian skenario politik telah dijalankan aparat-aparat Orde Baru untuk menjegal Megawati dan PDI, partai politik yang semula dijadikan Soeharto sebagai asesoris demokrasi bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di setiap pemilu yang digelar Orde Baru, sengaja PDI dan PPP tidak pernah diberi “kesempatan” menang karena memang Golkar “dibuat” harus selalu menang. Sebuah lawakan politik ala demokrasi Soeharto.

Baca juga: Tanda Tanya yang Belum Terjawab dari Kerusuhan 27 Juli 1996...

Penjegalan rissing star keluarga Bung Karno itu bermula dari tidak diakuinya kemenangan Megawati di Kongres PDI tahun 1993 di Surabaya, Jawa Timur. Semula orang yang diplot sebagai ketua umum PDI oleh Cendana adalah Budi Hardjono. Melalui voting pengambilan suara dengan drama mati listrik saat penghitungan suara, Megawati meraup 256 suara dari 305 suara cabang yang diperebutkan di forum kongres partai.

Rezim pun “tega” membuat dualisme kepengurusan tuan rumah penyelenggara kongres yang mengambil tempat di Asrama Haji Sukolilo. Kubu PDI Jawa Timur yang direstui pemerintah adalah kubu Latif Pujosakti, sedangkan yang pro Megawati dan didukung akar rumput adalah kubu Soetjipto.

Gagal di Surabaya, Orde Baru kembali menyiapkan skenario lagi dengan mem-plotting Soerjadi sebagai ketua umum untuk mendongkel Megawati di Kongres PDI di Medan tahun 1996. Di mata pemerintah, PDI yang sah adalah PDI Soerjadi, sedangkan di akar rumput yang sah adalah PDI Megawati.

Walau terjadi dualime kepemimpinan yang “disengaja” pemerintah waktu itu, jalan Soeharto untuk menjadi presiden (lagi) dari hasil Pemilu 1997 harus disiapkan sejak awal. Euforia kebangkitan demokrasi yang mulai disandarkan rakyat kepada Megawati harus dilumpuhkan.

Puncak kekesalan Menteri Dalam Negeri Yogie S Memet dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung yang gagal membuat Bapak Soeharto senang tentu saja harus melakukan cara lain yang ampuh: pengambilan paksa kantor DPP PDI! Aksi mimbar bebas yang sebelumnya rutin diadakan di halaman kantor DPP PDI harus dihentikan karena setiap hari meneriakkan “borok” kebobrokan rezim Orde Baru.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com