JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Masduki Baidlowi menyatakan tidak ada kewajiban untuk menyematkan gelar atau memanggil haji bagi umat Muslim yang pulang selepas menunaikan rukun Islam ke-5 itu.
Sebab menurut dia, hal itu terkait dengan tujuan pribadi, serta adat istiadat di masyarakat di setiap daerah.
"Jadi ada 2 orientasi, status sosial dan orientasi ibadah," kata Masduki saat dihubungi Kompas.com, Senin (25/7/2022).
Menurut Masduki, pada saat ini ada kalangan umat Muslim di Indonesia yang merasa tidak perlu lagi menyandang gelar haji, walaupun dia sudah menunaikan ibadah itu.
Baca juga: Jangan Panggil Saya Pak Haji
Bahkan ada juga umat Muslim yang merasa sungkan jika dipanggil dengan sebutan haji.
Sebab menurut Masduki, nilai utama pergi ke menunaikan haji di Makkah dan Madinah adalah untuk beribadah.
Akan tetapi, kata Masduki, dia tidak memungkiri kedudukan seorang haji masih sangat dihormati.
Bahkan jika ada orang yang keliru dalam bersikap terhadap sang haji bisa memicu perselisihan.
"Ada di daerah tertentu kalau orang yang baru pulang haji dan enggak dipanggil haji, orang itu bisa tersinggung. Masih ada itu," ujar Masduki.
Baca juga: Jumlah Jemaah Haji Indonesia yang Meninggal di Arab Saudi Jauh Lebih Banyak daripada Malaysia
Masduki menilai penyematan gelar haji bagi penduduk di kawasan Asia Tenggara khususnya juga berkaitan dengan status sosial seseorang.
"Yang dipanggil haji itu kan status sosialnya jadi seolah lebih tinggi di masyarakat," ujar Masduki.
"Dalam konteks tertentu dia menjadi semacam punya keuntungan," lanjut Masduki.
Secara terpisah, sejarawan Asep Kambali mengatakan, pada masa kolonial umat Muslim dari Hindia Belanda dan wilayah lain juga sambil menimba ilmu selepas menunaikan ibadah haji.
Baca juga: Masa Tunggu Haji di Malaysia 141 Tahun, Kemenag RI: Masyarakat Indonesia Lebih Beruntung
Maka dari itu para jemaah haji bisa berada di Tanah Suci Makkah hingga lebih dari 4 bulan, sebelum akhirnya pulang.
Dari proses belajar kepada sejumlah ulama itulah pemikiran tentang semangat anti-penjajahan ditularkan.
Maka dari itu, sejumlah tokoh-tokoh Islam mendirikan organisasi selepas pulang dari ibadah haji.
Mereka adalah KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912.
Kemudian, KH Hasyim Asy'ari mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926.
Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam usai ibadah haji pada 1905.
Baca juga: Evaluasi Haji 2022 dan Kritik Pemerintah hingga DPR
Oemar Said Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada 1912.
Seluruh organisasi itu berkembang dan jumlah anggotanya semakin besar.
"Berdirinya organisasi-organisasi Islam ini mengkhawatirkan pihak Belanda karena para tokoh yang kembali dari ibadah haji dianggap sebagai seorang yang suci," ujar Asep saat dihubungi Kompas.com.
Tokoh-tokoh dari seluruh organisasi Islam itu juga yang turut berjuang untuk merebut kemerdekaan dari Belanda.
Maka dari itu, kata Asep, pemerintah Hindia Belanda memutuskan memberi gelar haji kepada orang-orang yang pulang dari Tanah Suci supaya mudah diawasi jika terlibat gerakan menentang penjajahan mulai 1916.
Baca juga: Kemenag: Total Jemaah Haji Wafat 64, Bertambah 2 Orang
"Karena itulah para haji diyakini akan lebih didengar oleh penduduk awam yang ada di Hindia Belanda," ucap Asep.
Hal itulah, kata Asep, yang melatarbelakangi keputusan pemerintah Hindia Belanda memberikan gelar bagi masyarakat yang pulang selepas menunaikan ibadah haji.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.