KRISIS pangan menjadi salah satu tema yang dikemukakan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi G7 akhir Juni lalu, di Jerman.
Krisis pangan kali ini terjadi karena dua sebab: pandemi Covid-19 dan perang Rusia - Ukraina.
Rusia dan Ukraina adalah eksportir gandum utama dunia. Sedangkan gandum adalah bahan pangan pokok di banyak negara.
Pandemi dan perang menyebabkan produksi dan pengiriman gandum ke negara-negara lain terdisrupsi.
Krisis pangan juga disebabkan oleh harga pupuk yang meningkat akibat suplai energi yang terganggu akibat perang.
Sebagai reaksi, negara-negara produsen pangan dunia kemudian menyetop atau mengurangi ekspor untuk ketahanan pangan negaranya.
Menurut Presiden Jokowi, 323 juta orang terancam menghadapi kerawanan pangan akut. G7 dan G20 perlu mengatasi krisis pangan ini.
Indeks harga pangan yang dipublikasikan FAO pada Juni 2022 lalu (154,2) menunjukkan kenaikan yang tinggi dari Februari 2022 (141,1), saat Rusia mengawali invasi ke Ukraina.
Indeks ini telah menurun dari posisi puncak pada Maret (159,7), namun masih tetap tinggi dibandingkan Desember 2021 (125,7).
Data ini mengindikasikan kesulitan yang dihadapi banyak negara untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi warganya.
Bank Dunia pada Mei lalu, menyatakan kenaikan harga pangan memiliki dampak yang menghancurkan bagi mereka yang paling miskin dan paling rentan.
Presiden Jokowi berulang kali menyebutkan perlunya masyarakat untuk menghadapi krisis pangan dan krisis energi.
Disampaikan oleh Presiden bahwa harga gandum yang diimpor dari Rusia dan Ukraina akan meningkat.
Itu berarti harga makanan olahan yang menggunakan tepung terigu seperti roti dan mie instan akan naik.
Tiga tahun terakhir ini Indonesia dapat disebut tidak mengimpor beras. Impor beras memang masih ada, sekitar 300.000-400.000 ton, namun untuk keperluan hotel, restoran, dan kafe, serta untuk warga negara asing yang tinggal di sini. Bukan untuk konsumsi masyarakat pada umumnya.