Krisis pangan kali ini terjadi karena dua sebab: pandemi Covid-19 dan perang Rusia - Ukraina.
Rusia dan Ukraina adalah eksportir gandum utama dunia. Sedangkan gandum adalah bahan pangan pokok di banyak negara.
Pandemi dan perang menyebabkan produksi dan pengiriman gandum ke negara-negara lain terdisrupsi.
Krisis pangan juga disebabkan oleh harga pupuk yang meningkat akibat suplai energi yang terganggu akibat perang.
Sebagai reaksi, negara-negara produsen pangan dunia kemudian menyetop atau mengurangi ekspor untuk ketahanan pangan negaranya.
Menurut Presiden Jokowi, 323 juta orang terancam menghadapi kerawanan pangan akut. G7 dan G20 perlu mengatasi krisis pangan ini.
Indeks harga pangan yang dipublikasikan FAO pada Juni 2022 lalu (154,2) menunjukkan kenaikan yang tinggi dari Februari 2022 (141,1), saat Rusia mengawali invasi ke Ukraina.
Indeks ini telah menurun dari posisi puncak pada Maret (159,7), namun masih tetap tinggi dibandingkan Desember 2021 (125,7).
Data ini mengindikasikan kesulitan yang dihadapi banyak negara untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi warganya.
Bank Dunia pada Mei lalu, menyatakan kenaikan harga pangan memiliki dampak yang menghancurkan bagi mereka yang paling miskin dan paling rentan.
Presiden Jokowi berulang kali menyebutkan perlunya masyarakat untuk menghadapi krisis pangan dan krisis energi.
Disampaikan oleh Presiden bahwa harga gandum yang diimpor dari Rusia dan Ukraina akan meningkat.
Itu berarti harga makanan olahan yang menggunakan tepung terigu seperti roti dan mie instan akan naik.
Kesejahteraan petani
Tiga tahun terakhir ini Indonesia dapat disebut tidak mengimpor beras. Impor beras memang masih ada, sekitar 300.000-400.000 ton, namun untuk keperluan hotel, restoran, dan kafe, serta untuk warga negara asing yang tinggal di sini. Bukan untuk konsumsi masyarakat pada umumnya.
Jika dapat dipertahankan terus, maka dapat disebut Indonesia sudah swasembada beras lagi, seperti pada era Presiden Soeharto, walau hanya berlangsung sebentar.
Tidak salah jika Presiden Jokowi mengucapkan terima kasih kepada petani dalam acara peringatan Hari keluarga Nasional di Medan (7/6/2022), karena petani terus memproduksi beras dalam keadaan pandemi.
Namun swasembada beras baru benar-benar dapat disyukuri jika penghasilan petani dari menjual beras lebih besar dari meningkatnya ongkos produksi.
Kenyataannya, harga beras di tingkat petani hampir tidak mengalami kenaikan karena permintaan yang rendah akibat pandemi.
Bulog tidak dapat menyerap beras petani dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang berlaku, sebab cadangan berasnya masih besar.
Dipihak lain harga input produksi beras, terutama pupuk bersubsidi, mengalami kenaikan karena pasokan yang terbatas.
Petani harus membeli pupuk non-subsidi untuk mencukupi kebutuhannya. Dampaknya, pendapatan petani tertekan dari sisi biaya dan penjualan. Hal ini menyebabkan tingkat kesejahteraan petani menurun.
Perubahan pola konsumsi
Generasi milenial sekarang ini tampak cukup akrab dengan roti, mie instan, pasta, sereal, dan sebagainya. Tidak makan nasi bagi mereka bukan masalah, berbeda dengan generasi orangtuanya.
Dengan tren perubahan selera itu kebutuhan beras bagi masyarakat Indonesia akan berkurang.
Kementerian Pertanian memprediksi penurunan konsumsi beras dari 92,9 per kg per kapita per tahun (2020) menjadi 85 per kg (2024). Penurunan ini terjadi secara alamiah, bukan karena perubahan iklim, dsb.
Dan memang seperti itulah yang terjadi dengan bangsa-bangsa lain. Jepang, misalnya, mengalami penurunan porsi nasi dalam pola makannya secara tajam.
Selama 40 tahun terakhir, konsumsi beras menurun sebanyak 50 persen. Kini Jepang hanya mengonsumsi 119 gram beras per orang per hari.
Ke depan, konsumsi beras masyarakat Indonesia juga sangat mungkin akan berkurang, dan tergantikan oleh sayuran, buah-buahan, dan protein hewani seperti ikan, telur, susu dan daging.
Perubahan ini mengarah pada pola makan yang sehat untuk mencegah penyakit dan memperpanjang usia.
Perubahan pola konsumsi itu perlu diakomodasi dalam penyusunan kebijakan dan program diversifikasi pangan jangka panjang.
Namun perlu ditekankan bahwa program diversifikasi pangan harus tidak mengorbankan petani, melainkan justru memuliakannya. Kesejahteraan petani harus menjadi bagian penting dari kebijakan diversifikasi pangan.
Untuk itu perlu disusun peta jalan yang lebih realistis, dengan memperhitungkan semua kemungkinan yang terjadi seperti disrupsi produksi pangan karena perang dan bencana, perubahan selera konsumen, perubahan iklim, dsb.
Kita berharap agar Badan Pangan Nasional/Kementerian Pertanian, BUMN, perguruan tinggi, pengusaha, asosiasi petani, dan berbagai pihak lain segera siap dengan peta jalan diversifikasi pangan, atau penguatan ketahanan pangan, atau pembangunan pertanian berkelanjutan, atau apapun namanya, agar konsumsi pangan kita tidak terpengaruh oleh kejadian-kejadian sesaat.
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/22/07300011/diversifikasi-pangan-di-tengah-krisis