Industri di negara penempatan akan macet karena kekurangan tenaga buruh. Begitu juga bagi negara penyuplai akan terjadi penambahan angka pengangguran.
Apalagi moratorium diberlakukan pada kondisi sudah saling ketergantungan antardua negara atau kerja sama yang sudah terjalin lama.
Negara penempatan tidak serta-merta akan mudah mendapatkan pasokan sumber tenaga kerja migran baru dari negara lain.
Begitu juga negara penyuplai tidak mudah mendapat lowongan kerja di negara lain yang membutuhkan.
Jadi sebenarnya moratorium tidak dikehendaki bagi warga negara pencari kerja ke negara luar (PMI) maupun user (majikan) di negara penempatan.
Apalagi alasan moratorium dinilai tidak fundamental, seperti menyangkut proses tata cara penempatan, visa dan gaji.
Bagi pekerja migran, apapun bentuk sistem dan bentuk visanya, yang paling penting mereka bisa berangkat.
Kehadiran negara yang mereka butuhkan adalah bagaimana proses pembuatan dokumentasi cepat selesai alias tidak bolak-balik ke daerah asal ke pusat.
Kemudian, bagaimana negara hadir memfasilitasi dan memperkuat calon pekerja migran untuk bisa mendapatkan pinjaman pembiayaan dengan mudah.
Ketika majikan tidak bayar gajinya, negara hadir menuntut haknya. Bagaimana mereka (CPMI) tidak banyak mengeluarkan biaya atau menjadi korban praktik pungli hingga pemerasan.
Bagaimana ketika dia mendapat perlakuan tidak manusiawi dan terjadi kekerasan di negara penempatan, negara cepat hadir melindungi mereka.
Sedangkan yang dibutuhkan majikan pada negara penempatan adalah bagaimana tenaga migran segera cepat tersedia dan memiliki kualifikasi bagus (memiliki skill dan bisa bahasa mereka). Bagaimana pekerja migran tersebut mempunyai attitute dan etos kerja bagus.
Black market penempatan pekerja migran terjadi karena regulasi berbelit-belit, baik di negara penyuplai maupun negara penempatan.
Sehingga timbul praktik penempatan ilegal oleh para sindikat dengan cara penyelundupan sampai praktik human trafficking.
Pada negara penempatan (demand) biasanya disebabkan faktor sulit atau lambatnya mendapatkan visa kerja.
Kasus ini terjadi pada negara Polandia di mana penerbitan visa bisa sampai satu tahun lebih.
Akhirnya terjadi black market penempatan dan menjadi modus bagi agency di Polandia untuk mendapatkan tenaga murah bagi buruh migran yang datang dengan masa kontrak kerja hampir habis.
Sedangkan di negara penyuplai disebabkan oleh faktor berbelit-belitnya birokrasi dan memakan waktu lama.
Kasus ini hampir terjadi ke semua negara penempatan. Sehingga muncul praktik memotong kompas dengan cara black market.
Ada juga black market disebabkan oleh negara penempatan yang melegalkan pekerja migran masuk ke negaranya meski tidak memenuhi syarat di negara penyuplai.
Ini seperti terjadi di negara Singapura di mana pekerja migran Indonesia masuk ke Singapura meski hanya bermodalkan paspor tetapi bisa dilegalkan oleh majikannya.
Selain faktor disebutkan di atas, salah satu penyebab maraknya black market adalah moratorium dan tidak adanya hubungan diplomasi kedua negara yang mengatur kerja sama bilateral.
Karena kekosongan regulasi, para sindikat kedua negara memanfaatkan hukum pasar 'supply dan demand'. Para sindikat memanfaatkan keadaan dengan penempatan unprosedural.
Transaksi gelap penyediaan tenaga kerja migran menjadi ladang bisnis para sindikat black market penempatan.
Perekrutan calon pekerja migran dilakukan secara bujuk rayu oleh sponsor dengan iming-iming uang dan pekerjaan layak. Para sindikat memberangkatkan mereka dengan cara menyeludupkan ke negara penempatan.
Praktik ilegal tersebut menyusahkan negara penempatan dan membuat negara penyuplai kewalahan dalam pelindungan warga negaranya.
Tindak kekerasan, perbudakan, gaji tidak dibayar, pelecehan seksual, buruh migran kabur, tindak kriminal dan sebagainya menjadi permasalahan menimpa kedua negara.
Tidak jarang juga terjadi human trafficking yang dilarang oleh dunia seperti kurir narkoba bahkan terkait terorisme.
Praktik black market juga sangat merugikan agency-agency yang taat hukum. Seperti Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dengan dokumen lengkap yang didapat lewat perjuangan serta menaruh deposit sebesar Rp 1,5 miliar, akhirnya bangkrut.
Rencana moratorium penempatan ke negara Malaysia perlu dikritisi secara komprehensif. Pemberlakuan moratorium penempatan tidak bisa dilakukan secara serampangan dan emosional oleh pemerintah pusat.
Sebagaimana sekilas diuraikan di atas, moratorium menciptakan black market penempatan PMI ilegal.
Pemberlakuan moratorium harus memiliki daya efektif dalam penegakan hukum dan perjanjian bilateral.