Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hubungan SBY-Megawati di Masa Lalu Dinilai Bisa Hambat Kemungkinan Koalisi PDI-P dan Demokrat

Kompas.com - 14/07/2022, 15:48 WIB
Adhyasta Dirgantara,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik yang juga Dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana menilai, memori kelam antara Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa memengaruhi keputusan PDI-P dalam menggandeng Demokrat untuk Pemilu 2024.

Adit mengatakan, ada persoalan emosi yang belum tuntas antara SBY dan Megawati.

"Elite politik pasti akan mencoba mengaitkan ada persoalan emosi yang belum tuntas di antara Bu Mega sama SBY. Bisa jadi itu benar adanya meskipun harus diklarifikasi, sehingga komunikasi itu relatif berbeda," ujar Adit saat dihubungi Kompas.com, Kamis (14/7/2022).

Baca juga: PDI-P dan Demokrat Dinilai Bisa Berkoalisi Hanya jika Megawati dan SBY Saling Memaafkan

Adit mengatakan, hal-hal yang membekas di masa lalu semacam itu bisa memengaruhi keputusan-keputusan politik di tataran elite partai. 

Apalagi, kata dia, ada kecenderungan bahwa partai politik di Indonesia didominasi oleh figur.

"Jadi, kalau figurnya merasa ada sesuatu yang belum tuntas dengan pihak lain, saya pikir itu punya pengaruh terhadap keputusan-keputusan poltiik yang pasti ditunggu sama bawahannya," kata dia.

Dengan demikian, Adit menilai, memori kelam antara SBY dan Megawati itu masih membekas bagi PDI-P.

Dia tidak yakin apakah persoalan tersebut bisa diselesaikan dalam waktu dekat.

Meski begitu, Adit mengapresiasi PDI-P yang membuka pintu bagi semua partai untuk bekerja sama di Pemilu 2024, termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat.

Baca juga: Demokrat dan PKS Dinilai Perlu Manuver Canggih untuk Mengikat PDI-P

Sebab, sebelumnya Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto pernah menyatakan pihaknya sulit bekerja sama dengan PKS dan Demokrat.

"Ini ada satu kondisi yang positif bahwa semua partai politik mencoba mendudukkan dirinya sama dan setara. Ketika ingin melakukan penjajakan koalisi pencalonan presiden itu merasa punya kepentingan yang sama untuk bangsa dan negara, bukan hanya kepentingan segelintir elite politik karena ada rasa egois atau merasa yang paling segalanya. Tapi ternyata tidak," ujar Adit.

Ia juga mengatakan, memang sudah seharusnya semua partai politik saling berkomunikasi.

Dia mendorong para elite politik masing-masing partai agar saling duduk bersama.

"Apa yang disampaikan elite itu punya pengaruh di bawah dan itu memang mungkin di kalangan elite penting beranggapan janganlah kita kemudian mendikotomi perbedaan dan kemudian berimplikasi pada polarisasi politik yang ada ke depan," ujar dia.

PDI-P buka pintu untuk Demokrat-PKS

Geliat manuver PDI Perjuangan untuk Pemilu 2024 mulai tampak. Pintu kerja sama partai banteng dibuka lebar-lebar ke seluruh partai politik.

Megawati telah menugaskan putrinya yang tak lain adalah Ketua DPP PDI-P, Puan Maharani, untuk menemui semua ketua umum partai politik tanpa terkecuali.

Baca juga: Soal Upaya Pertemuan Puan-AHY, Demokrat: Kalau Mau Berkomunikasi, Kita Selalu Terbuka

Ketua DPP Bidang Pemenangan Pemilu PDI-P Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul bilang, Megawati tak memerintahkan putrinya untuk bertemu dengan satu atau dua petinggi parpol saja.

"Tentu tidak faktor tunggal siapa yang harus ditemui, tapi perintahnya Ibu Ketum temui semua ketum-ketum partai," kata Bambang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (12/7/2022).

Dengan demikian, kata Bambang, bukan tidak mungkin Puan menjadwalkan pertemuan dengan dua partai yang sempat disebut sulit bekerja sama dengan PDI-P, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.

Kendati begitu, menurut dia, Megawati tidak memiliki pesan khusus agar Puan mengunjungi partai tertentu terlebih dahulu.

Hubungan SBY-Mega

Hubungan Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri dengan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengalami pasang surut selama lebih dari satu dekade.

Meski tak pernah diakui keduanya secara gamblang, publik membaca gelagat perseteruan antara dua petinggi partai politik itu.

Baca juga: Manuver Tajam PDI-P: Dulu Bilang Sulit Kerja Sama dengan Demokrat dan PKS, Kini Buka Pintu Lebar-lebar

Sejak jabatan Megawati di kursi RI-1 digantikan SBY, keduanya sangat jarang terlihat bersama.

Kerenggangan hubungan keduanya bermula ketika SBY mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2004.

Sebelumnya, SBY menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati.

Ia mengemban jabatan itu sejak awal kabinet tersebut dibentuk Megawati dan Hamzah Haz, 10 Agustus 2001.

Kala itu, sejumlah elite PDI-P mempertanyakan keputusan Megawati yang menunjuk SBY sebagai menterinya.

Sebab, SBY dianggap terlibat dalam tragedi Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kuda Tuli) yang memporak-porandakan Kantor DPP PDI (nama PDI-P di era Orde Baru).

Tak hanya itu, keberadaan SBY dalam kabinet juga dipersoalkan karena merupakan menantu Sarwo Edhie Wibowo yang dianggap bersebrangan dengan Presiden Soekarno di era Orde Lama.

“Namun sikap Megawati Soekarnoputri yang lebih mengedepankan rekonsiliasi nasional dan semangat persatuan lalu mengatakan ‘Saya mengangkat Pak SBY sebagai Menko Polkam bukan karena menantu Pak Sarwo Edhie’,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto melalui keterangan tertulis, Rabu (17/2/2021).

“Saya mengangkat dia karena dia adalah TNI, Tentara Nasional Indonesia. Ada 'Indonesia' dalam TNI sehingga saya tidak melihat dia menantu siapa. Kapan bangsa Indonesia ini maju kalau hanya melihat masa lalu?” tutur Hasto menirukan ucapan Megawati.

Baca juga: SBY: Di Dunia Politik, Saya Sudah Pensiun...

Namun rupanya, SBY tak menuntaskan jabatannya sebagai Menko Polkam hingga akhir masa kerja Kabinet Gotong Royong. Ia mundur pada 11 Maret 2004, sekitar sebulan sebelum Pilpres.

Selain mempersiapkan diri untuk pencalonan, kala itu berembus isu bahwa SBY merasa dizalimi Megawati sehingga memilih untuk mengundurkan diri.

Pada Pilpres 5 April 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhadapan dengan Megawati yang mencalonkan diri bersama Hasyim Muzadi.

Kalla sebelumnya juga merupakan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan (Menko Kesra) di Kabinet Gotong Royong Megawati.

Secara mengejutkan, pasangan SBY-Kalla berhasil memenangkan pertarungan dengan meraup 39.838.184 atau 33,57 persen suara, diikuti Megawati-Hasyim Muzadi dengan 31.569.104 atau 26,61 persen suara.

Melalui Pilpres tersebut, Megawati mau tak mau merelakan kursi jabatannya untuk SBY.

Namun, Megawati tak menyerah. Ia kembali mencoba peruntungan di Pilpres 2009 bersama Prabowo Subianto.

Baca juga: Jamu AHY di Kertanegara, Prabowo: Sampaikan Salam Hormat ke Bapak SBY

Lagi-lagi, Megawati harus berhadapan dengan SBY. Kala itu SBY berpasangan dengan Boediono.

Namun, Megawati terpaksa kembali menelan pil pahit lantaran kalah telak dari SBY yang mendapatkan 73.874.562 atau 60,8 persen suara rakyat Indonesia.

Sementara itu, ia hanya mengantongi 32.548.105 atau 26,79 suara.

Dengan rekam jejak tersebut, hawa panas antara Megawati-SBY pun menguat, disinyalir karena persaingan keduanya memperebutkan kursi RI-1.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com