Hal ini menunjukkan bahwa aspek materiil sedikit perlu dikesampingkan dalam suatu kepentingan politik.
Adalah Georg Willhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, yang berhasil menjelaskan perilaku dari seorang aktor politik dari aspek non-materiilnya.
Dalam mengidentifikasi sejarah maupun fenomena aktor politik, Hegel berusaha untuk menjelaskan manusia secara utuh, tidak hanya dari sisi ekonomi semata.
Pada catatannya terkait sejarah politik yang bersifat nonmaterialistik, Hegel mendasari perilaku manusia pada perjuangannya untuk memperoleh sebuah “pengakuan”.
Hegel menjelaskan, layaknya seekor hewan, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan bersifat alamiah dan hasrat terhadap segala sesuatu di luar dari dirinya seperti makanan, minuman, rumah atau tempat berlindung, serta hal-hal lain untuk mempertahankan fisiknya.
Selain itu, manusia juga memiliki hasrat yang berhubungan dengan orang lain. Akan tetapi, selain hasrat terhadap manusia lainnya, ia juga menginginkan adanya “pengakuan” dari orang lain. Hal inilah yang secara fundamental membuat manusia sangat berbeda dari binatang.
Utamanya, seseorang ingin diakui sebagai seorang manusia yang bermartabat dan memiliki penghargaan tertentu di mata orang lain.
Penghargaan adalah hal yang ingin dicapai manusia untuk memperoleh prestise dan mencapai prinsip-prinsip tujuan yang lebih abstrak dan tinggi.
Hasrat pengakuan sebagai seorang manusia dengan derajat tertentu, menurut catatan Hegel, telah mengendalikan manusia pada awal sejarah untuk melakukan berbagai peperangan berdarah dan konflik hanya demi sebuah gengsi semata.
Hal ini jugalah yang membentuk perbedaan kelas antar manusia, antara yang diakui dengan yang tidak, antara tuan dan budaknya, antara pejabat dan masyarakat biasa, serta antara pemimpin dan pengikutnya.
Pencarian akan sebuah pengakuan juga dipercaya oleh Hegel dapat mendorong kaum yang merasa tidak diakui untuk melakukan revolusi, seperti layaknya revolusi Perancis dan Amerika.
Di Indonesia, hal semacam ini juga tercermin dalam gerakan reformasi tahun 1998, ataupun berbagai pemberontakan berbau identitas seperti DI/TII.
Konsep mengenai “hasrat untuk diakui” sebenarnya sudah ada sejak zaman berkembangnya filsafat politik barat, dan sudah merupakan hal yang biasa di dalam kepribadian manusia.
Dalam karya yang ditulis Plato, seorang filsuf Yunani, berjudul Republic, ia mendeskripsikan bahwa terdapat tiga bagian di dalam diri manusia, yaitu hasrat atau nafsu, akal, dan gairah (thymos).
Peran manusia sebagai mahluk ekonomi dapat dijelaskan dalam dua unsur awal tersebut, yaitu hasrat dan akal.