Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Memahami Perilaku Aktor Politik: Perspektif Filsafat Hegel

Kompas.com - 13/07/2022, 13:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENUJU tahun politik, media sosial dan konvensional akhir-akhir ini mulai intens memberikan informasi terkait perkembangan perpolitikan nasional.

Seringkali, masyarakat dipertontonkan dengan berbagai manuver politik yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan maupun politikus, baik yang arahnya kedalam maupun keluar ruang lingkup domestik.

Manuver politik, baik yang dilakukan oleh individu maupun organisasi, selalu didorong oleh suatu kepentingan yang bersifat perseorangan ataupun kolektif.

Di balik berbagai aksi para aktor politik tersebut, terdapat perbedaan dalam hal manuver apa yang dibangun ataupun diperjuangkan berdasarkan timeline posisi politiknya.

Seorang aktor politik yang sedang berkontestasi, pastinya akan berusaha menarik hati suatu kelompok masyarakat untuk mencapai kursi tertentu di sebuah struktur politik.

Bagi yang sudah berada di dalam suatu struktur, manuver-manuver politik tentu akan lebih mengarah pada mempertahankan kepercayaan publik dan menyeimbangkan pengaruh oposisinya.

Aktor politik yang sedang memegang kewenangan tentunya akan mengakomodir berbagai manuver pelaku lain yang sejalan dengan kepentingan politiknya.

Bila telah habis wewenang ataupun masa jabatannya, aktor politik dapat memilih untuk mengincar strata yang lebih tinggi, ataupun mempertahankan pengaruh meski sudah tidak berada di posisi sebelumnya.

Tentunya, semua perilaku tersebut didasarkan pada tingkat ambisi maupun kalkulasi politik masing-masing aktor.

Lantas, perilaku-perilaku aktor politik tersebut tentu memberikan kita sebuah pertanyaan lebih lanjut: hal atau kepentingan seperti apakah yang sebenarnya mereka cari hingga mendorong berbagai aktor tersebut untuk bergerak? Apakah kepentingan itu bersifat materiil ataupun non-materiil?

Perlu kita pahami bersama bahwa manusia, sebagai aktor politik, bukanlah semata-mata mahluk ekonomi.

Manusia dapat dikatakan sebagai mahluk ekonomi (homo economicus) karena selalu berpikir dan berupaya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Adam Smith, dalam buku “An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of The Nations”, menyebut bahwa manusia cenderung tidak akan pernah puas dengan apa yang telah didapat, dan akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya secara terus-menerus.

Namun, hal tersebut menimbulkan persepsi yang menyamaratakan antara perilaku manusia dan binatang.

Pemenuhan kebutuhan dasar manusia tidak dapat menjelaskan arah dari perilaku aktor sejarah perpolitikan yang dialami oleh suatu kelompok masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa aspek materiil sedikit perlu dikesampingkan dalam suatu kepentingan politik.

Adalah Georg Willhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, yang berhasil menjelaskan perilaku dari seorang aktor politik dari aspek non-materiilnya.

Dalam mengidentifikasi sejarah maupun fenomena aktor politik, Hegel berusaha untuk menjelaskan manusia secara utuh, tidak hanya dari sisi ekonomi semata.

Pada catatannya terkait sejarah politik yang bersifat nonmaterialistik, Hegel mendasari perilaku manusia pada perjuangannya untuk memperoleh sebuah “pengakuan”.

Hegel menjelaskan, layaknya seekor hewan, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan bersifat alamiah dan hasrat terhadap segala sesuatu di luar dari dirinya seperti makanan, minuman, rumah atau tempat berlindung, serta hal-hal lain untuk mempertahankan fisiknya.

Selain itu, manusia juga memiliki hasrat yang berhubungan dengan orang lain. Akan tetapi, selain hasrat terhadap manusia lainnya, ia juga menginginkan adanya “pengakuan” dari orang lain. Hal inilah yang secara fundamental membuat manusia sangat berbeda dari binatang.

Utamanya, seseorang ingin diakui sebagai seorang manusia yang bermartabat dan memiliki penghargaan tertentu di mata orang lain.

Penghargaan adalah hal yang ingin dicapai manusia untuk memperoleh prestise dan mencapai prinsip-prinsip tujuan yang lebih abstrak dan tinggi.

Hasrat pengakuan sebagai seorang manusia dengan derajat tertentu, menurut catatan Hegel, telah mengendalikan manusia pada awal sejarah untuk melakukan berbagai peperangan berdarah dan konflik hanya demi sebuah gengsi semata.

Hal ini jugalah yang membentuk perbedaan kelas antar manusia, antara yang diakui dengan yang tidak, antara tuan dan budaknya, antara pejabat dan masyarakat biasa, serta antara pemimpin dan pengikutnya.

Pencarian akan sebuah pengakuan juga dipercaya oleh Hegel dapat mendorong kaum yang merasa tidak diakui untuk melakukan revolusi, seperti layaknya revolusi Perancis dan Amerika.

Di Indonesia, hal semacam ini juga tercermin dalam gerakan reformasi tahun 1998, ataupun berbagai pemberontakan berbau identitas seperti DI/TII.

Konsep mengenai “hasrat untuk diakui” sebenarnya sudah ada sejak zaman berkembangnya filsafat politik barat, dan sudah merupakan hal yang biasa di dalam kepribadian manusia.

Dalam karya yang ditulis Plato, seorang filsuf Yunani, berjudul Republic, ia mendeskripsikan bahwa terdapat tiga bagian di dalam diri manusia, yaitu hasrat atau nafsu, akal, dan gairah (thymos).

Peran manusia sebagai mahluk ekonomi dapat dijelaskan dalam dua unsur awal tersebut, yaitu hasrat dan akal.

Hasrat adalah kebutuhan yang harus dipenuhi manusia, dan akal adalah alat atau jalan berpikir untuk memenuhinya.

Sedangkan thymos, adalah bagian dalam jiwa manusia yang cenderung membutuhkan penghargaan dan pengakuan.

Hal inilah, yang menurut Hegel, mengendalikan aktor politik dan seluruh proses pembentukan sejarah.

Di Indonesia, dan juga berbagai negara lainnya, perjuangan untuk memperoleh pengakuan dalam diri manusia sangat tercermin dalam perilaku aktor politiknya.

Sebagai contoh, sebelum menjadi seorang presiden, Jokowi yang awalnya diakui masyarakat Kota Solo sebagai wali kota, mulai mengejar pengakuan yang lebih luas hingga akhirnya menjadi Gubernur DKI Jakarta dan pemimpin negara.

Presiden Jokowi juga bermanuver dengan mengunjungi Ukraina dan Rusia saat kedua negara tersebut tengah berperang, agar Indonesia mendapat pengakuan sebagai negara “juru damai” dalam presidensi G20.

Puan Maharani, yang semula hanya dikenal sebagai putri dari mantan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, mulai merintis karir politiknya sebagai bentuk pencarian akan pengakuan lebih besar dari publik, dari mulai Anggota DPR RI, Ketua Fraksi PDI-P, Menko PMK, hingga saat ini menjadi Ketua DPR RI.

Konsep pengakuan ini juga berlaku bagi aktor negara atau organisasi, contoh konkretnya seperti pada sikap politik luar negeri Indonesia yang memprakarsai gerakan non-blok, ataupun Amerika Serikat yang membentuk NATO sebagai tandingan Uni Soviet pada masa perang dingin.

Hal ini dilakukan untuk mencari pengakuan dari negara-negara lain terhadap power yang ditunjukkannya.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan, baik berbentuk individu ataupun komunal, aktor politik tentu akan selalu mencari pengakuan dari aktor politik lainnya.

Maka dari itu, terlepas dari berbagai bentuk kepentingannya, aktor politik, baik secara individu maupun organisasi, pada dasarnya mencari “pengakuan” yang bersifat baik atas eksistensinya.

Hal inilah yang mendorong berbagai aktor politik untuk memperjuangkan kepentingannya, baik dengan cara yang positif maupun tidak.

“Pengakuan” menjadi motor bagi manusia atau organisasi untuk berusaha masuk kedalam suatu strata tertentu dalam dunia perpolitikan.

Pengakuan juga dapat merubah manusia, yang semula hanya mahluk ekonomi, menjadi mahluk politik (homo politicus).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com