Pemerintah yang diwakili oleh Wamenkumham Edward OS Hiariej baru menyerahkan draf RKUHP yang sudah disempurnakan kepada Komisi III DPR pada 6 Juli 2022.
"Keengganan untuk melibatkan dan mendengarkan secara meluas suara publik dalam proses meramu kitab peraturan pidana yang baru ini sepertinya memang sudah menjadi gejala umum," ujar Rangga.
"Hal ini umumnya terjadi ketika obyek dari aturan tersebut memicu kontroversi dan polemik," ucapnya.
Baca juga: Pakar Hukum Pidana Sebut RUU KUHP Masih Bernuansa Kolonial
Rangga mengatakan, absennya suara masyarakat dalam pembahasan RKUHP sebetulnya bukan hal baru.
Sekitar dua tahun silam, ujar dia, kasus serupa terjadi ketika pemerintah dan DPR membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.
Padahal, dalam pembahasan UU Cipta Kerja, sebagian besar masyarakat meminta pemerintah dan DPR untuk bersabar.
Hal ini dikuatkan dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada April 2020 yang menunjukkan 82,9 persen responden menilai pengesahan RUU Cipta Kerja harus ditunda.
Baca juga: Kritisi RKUHP, Pengamat Pertanyakan Cara Penegak Hukum Bedakan Kritik dan Penghinaan
"Bak Bandung Bondowoso membangun candi, undang-undang 'super' ini diketok palu dalam waktu yang relatif cepat dan terkesan buru-buru," kata Rangga.
"Padahal, saat itu polemik masih terjadi di publik," ujarnya.
Hal yang sama, lanjut Rangga, juga terjadi ketika DPR merevisi Undang-Undang KPK.
Padahal, demonstrasi besar-besaran untuk menolak RUU itu terjadi di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
"Sayangnya, suara warga kurang didengar dan kedua RUU itu tetap diloloskan," ucap Rangga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.