Maka, kata Menlu Retno Marsudi, kunjungan ini merupakan respons atas krisis global yang melanda dunia sejak COVID-19 terjadi dan diperparah dengan terjadinya perang di Ukraina. Ini artinya, Indonesia sangat tanggap terhadap kondisi dan situasi dunia.
Dengan demikian, membuka potensi bagi Indonesia untuk kembali ke orientasi tradisionalnya, yakni mencoba membangun jembatan bagi perdamaian dan menjadi bagian dari solusi.
Sejarah diplomasi damai Indonesia, misalnya, mencatat peran Indonesia dalam mengupayakan perdamain Kamboja. Yakni lewat "Jakarta Informal Meeting" (JIM) dua kali: JIM I di Bogor pada 5-28 Juli 1988 dan JIM II di Jakarta pada 19-21 Februari 1989.
Melalui JIM I dan II, Indonesia berhasil memfasilitasi kedua negara--Kamboja dan Vietnam--untuk berunding dan menyelesaikan konflik bersenjata mereka.
Pada akhirnya, konflik Kamboja-Vietnam berakhir setelah ditandatangani Perjanjian Paris pada 23 Oktober 1991.
Keberhasilan peran Indonesia ini merupakan implementasi dari kebijakan bebas-aktif yang juga menegaskan bahwa sikap non-interference (tidak campur tangan) bukan berarti non-involvement (tidak turut serta).
Kiranya dalam konteks semacam ini pula, kita bisa membaca misi diplomasi damai yang dilakukan Presiden Jokowi.
Secara luas diplomasi dianggap sebagai alternatif perang—dan perang sebagai kegagalan diplomasi.
Diplomasi negara pada dasarnya adalah seni dan kemampuan dalam mempersuasi pihak lain. Ini telah dilakukan Presiden Jokowi dengan berbicara dengan para pemimpin penting dunia (dengan Vladimir Putin dan Joe Biden, antara lain) untuk memperlancar dan suksenya KTT G20 mendatang. Bahkan, Jokowi ketemu Biden, di Washington.
Diplomasi juga dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan hubungan internasional melalui negosiasi dan dialog atau dengan cara lain untuk mempromosikan hubungan damai antar-negara.
Kata S Brown (2001) secara konvensional diplomasi bisa sama dengan negosiasi untuk menyelesaikan konflik (dalam hal ini konflik bersenjata Rusia-Ukraina).
Inilah yang akan diupayakan Jokowi saat bertemu dengan Zelenskiy dan Putin. Jokowi akan meyakinkan kedua pemimpin itu bahwa dampak perang sangat dirasakan banyak negara, antara lain krisis pangan dan energi.
Kata UNHCR, lembaga pengungsi PBB, sekitar 6,8 juta orang Ukraina terpaksa mengungsi; sementara jumlah korban tewas dan luka, belum ada angka yang pasti, bisa jadi ribuan.
Bahkan, "United Nations Secretary-General’s Global Crisis Response Group" (GCRG) mengungkapkan, diperkirakan 1,6 miliar orang di 94 negara terkena setidaknya satu dimensi krisis karena perang dan sekitar 1,2 miliar dari mereka yang tinggal di negara-negara 'badai sempurna' sangat rentan terhadap ketiga dimensi krisis: pangan, energi dan keuangan. Krisis itu yang harus segera dihentikan.
Krisis dan ancaman krisis seperti itu yang telah pula menggerakkan hati Jokowi untuk menemui Putin dan Zelenskiy. Ini menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap isu kemanusiaan.
Karena itu, Indonesia mendorong spirit atau semangat perdamaian, serta mencoba memberikan kontribusi untuk menangani krisis pangan yang dampaknya dirasakan oleh semua negara di dunia.
Perang Ukraina telah mengancam terjadinya kekurangan pangan parah, kelaparan, dan stabilitas politik di negara-negara berkembang.
Kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala (BBC News), negara-negara Afrika bisa sangat terpukul oleh kekurangan gandum dan pupuk.