PAWAI bunga di Surabaya, Java Jazz Festival di Jakarta, Festival Kopi Tanah Air di Jakarta, hingga plesiran di Malioboro Yogyakarta, pada akhir pekan ini, menjadi bukti bahwa kerumunan bukan lagi hal menakutkan.
Warga tak lagi risih bersentuhan dengan orang tak dikenal. Tak ada jarak satu dengan lain.
Bahkan ada pula yang tidak pakai masker di tengah kerumunan tersebut. Dan tertawa pun menjadi lepas, tak perlu sungkan dengan orang lain.
Kebiasaan selama dua tahun pandemi dibuang jauh. Protokol kesehatan sudah kedaluwarsa. Seolah mau ditegaskan, tak perlu lagi khawatir, "Semua telah berlalu".
Benarkah sudah berlalu? Sebenarnya belum sepenuhnya berlalu. Kasus baru masih ada.
Data Kementerian Kesehatan pada Sabtu (28/5/2022), mengungkapkan kasus harian Covid-19 mencapai 279 orang per hari, jumlah ini meningkat dari hari sebelumnya.
Tampaknya bagi masyarakat, angka 279 tersebut dianggap "enteng". Bukan angka yang menakutkan sebagaimana saat varian Delta menyerang tahun lalu.
Lantas, mengapa warga sudah berani berkerumun? Sudah berani melepas masker? Sudah berani bercipika-cipiki? Sekali lagi, angka bukan lagi hal menakutkan.
Lain dari pada itu, ternyata pengalaman para filsuf bisa dijadikan rujukan kekinian. Gustave Le Bon (1841-1941), dalam bukunya The Crowds: A Study of Popular Mind, Le Bon melihat beberapa watak dari kerumunan.
Pertama, anonimity, hilangnya sifat individu. Ketika individu menjadi bagian dari massa, maka pribadinya akan lebur menjadi pribadi massa.
Kepentingan pribadi lebur ke dalam kepentingan massa. Padahal, dalam kepentingan massa ini individu acap kehilangan rasa takut atas konsekuensi.
Contoh sederhana anonimity masker. Dari rumah sudah menguatkan diri untuk tetap bermasker. Ternyata, setelah masuk kerumunan, melihat banyak yang lepas masker, maka seseorang secara tak sadar copot pakai masker.
"Ah, banyak yang enggak pake masker kok," inilah pendorongnya. Dia seolah lupa masih dalam pandemi.
Kedua, contagion, keadaan mudah meniru dan menularkan perbuatan orang lain. Anggota kerumunan, tanpa berpikir, cenderung membenarkan dan menirukan segala perbuatan anggota lain, bahkan meniru aksi-aksi yang tidak rasional.
Jika ada yang mulai cipika cipiki, sebagian yang lain ikut berbuat sama.