Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Toto TIS Suparto
Editor Buku Lepas, Ghostwritter

Editor Buku

Kerumunan Tak Lagi Menakutkan

Kompas.com - 29/05/2022, 14:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PAWAI bunga di Surabaya, Java Jazz Festival di Jakarta, Festival Kopi Tanah Air di Jakarta, hingga plesiran di Malioboro Yogyakarta, pada akhir pekan ini, menjadi bukti bahwa kerumunan bukan lagi hal menakutkan.

Warga tak lagi risih bersentuhan dengan orang tak dikenal. Tak ada jarak satu dengan lain.

Bahkan ada pula yang tidak pakai masker di tengah kerumunan tersebut. Dan tertawa pun menjadi lepas, tak perlu sungkan dengan orang lain.

Kebiasaan selama dua tahun pandemi dibuang jauh. Protokol kesehatan sudah kedaluwarsa. Seolah mau ditegaskan, tak perlu lagi khawatir, "Semua telah berlalu".

Benarkah sudah berlalu? Sebenarnya belum sepenuhnya berlalu. Kasus baru masih ada.

Data Kementerian Kesehatan pada Sabtu (28/5/2022), mengungkapkan kasus harian Covid-19 mencapai 279 orang per hari, jumlah ini meningkat dari hari sebelumnya.

Tampaknya bagi masyarakat, angka 279 tersebut dianggap "enteng". Bukan angka yang menakutkan sebagaimana saat varian Delta menyerang tahun lalu.

Lantas, mengapa warga sudah berani berkerumun? Sudah berani melepas masker? Sudah berani bercipika-cipiki? Sekali lagi, angka bukan lagi hal menakutkan.

Lain dari pada itu, ternyata pengalaman para filsuf bisa dijadikan rujukan kekinian. Gustave Le Bon (1841-1941), dalam bukunya The Crowds: A Study of Popular Mind, Le Bon melihat beberapa watak dari kerumunan.

Pertama, anonimity, hilangnya sifat individu. Ketika individu menjadi bagian dari massa, maka pribadinya akan lebur menjadi pribadi massa.

Kepentingan pribadi lebur ke dalam kepentingan massa. Padahal, dalam kepentingan massa ini individu acap kehilangan rasa takut atas konsekuensi.

Contoh sederhana anonimity masker. Dari rumah sudah menguatkan diri untuk tetap bermasker. Ternyata, setelah masuk kerumunan, melihat banyak yang lepas masker, maka seseorang secara tak sadar copot pakai masker.

"Ah, banyak yang enggak pake masker kok," inilah pendorongnya. Dia seolah lupa masih dalam pandemi.

Kedua, contagion, keadaan mudah meniru dan menularkan perbuatan orang lain. Anggota kerumunan, tanpa berpikir, cenderung membenarkan dan menirukan segala perbuatan anggota lain, bahkan meniru aksi-aksi yang tidak rasional.

Jika ada yang mulai cipika cipiki, sebagian yang lain ikut berbuat sama.

Ketiga, suggestibility, yakni keadaan psikologi massa mirip seseorang dalam pengaruh hipnotis. Kemampuan berpikir individu dalam massa hampir-hampir berhenti.

Sebenarnya, secara individu berniat untuk tetap menghindari kerumunan, namun begitu melihat banyak orang berkerumun, seolah terhipnotis malah ikut gabung ke dalam kerumunan.

Selain Le Bon, filsuf lain punya catatan atas kerumunan ini. Misalkan Elias Canetti, pemikir Bulgaria, yang secara tegas menyatakan di dalam kerumunan, orang akan kehilangan jati dirinya.

Seseorang akan mengambil pola berpikir dan kebiasaan kerumunan, dan tanpa disadari mencampakkan otentisitasnya. Individu itu larut dalam massa yang kehilangan akal sehat.

Akal sehat merupakan kemampuan diri untuk mempertimbangkan, apakah hidup diri kita sudah di arah yang tepat atau belum. Akal sehat juga perlu digunakan untuk mengembangkan sikap kritis.

Kita berlaku kritis sederhana saja, "Ah...ini nggak bener. Tak usah memaksakan diri untuk masuk kerumunan".

Inilah yang diperlukan oleh seseorang agar bisa menjalani prokes yang baik.

Jadi, wajar saja masih ada pihak yang khawatir melonjaknya kasus Covid-19. Pemicunya, kerumunan sulit dikendalikan.

Namun menjadi catatan bersama, di balik "kemurahan" pemerintah melonggarkan pemakaian masker di ruang terbuka, kita masih belum sepenuhnya menjadi anggota masyarakat yang baik.

Jika merujuk kepada pemikiran Driyarkara, kita jadi baik bilamana kita semua menyadari kewajiban sebagaimana manusia.

Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa kewajiban manusia hidup dalam dunia adalah bertanggung jawab, yaitu bertanggung jawab terhadap moralitas.

Tanggung jawab, menurut Driyarkara, memang sikap untuk menegakkan moralitas karena sesuai dengan kodratnya (Driyarkara, [1966] 2006: 559).

Manusia, setelah mengetahui kodrat manusia dan tanggung jawabnya, bisa mengetahui keutamaannya. Jangan lupa, keutamaan itu adalah siap sedia melakukan semua kebaikan.

Hidup (saat masih pandemi) yang baik, merujuk pada Martin Heidegger, bukanlah gaya hidup yang tidak otentik sebagai manusia.

Maka alangkah baiknya kita kembalikan tujuan hidup yang otentik. Bukan sepenuhnya dikendalikan karakter massa, karakter kerumunan.

Tetaplah pada karakter individu bahwa sepanjang masih pandemi maka kerumunan minus prokes tetap mengkhawatirkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Nasional
Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

Nasional
Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Nasional
Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Nasional
Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Nasional
Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Nasional
Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Nasional
Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Nasional
Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Nasional
Selain 2 Oknum Lion Air,  Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Selain 2 Oknum Lion Air, Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Nasional
Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Nasional
Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com