JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mengusulkan agar ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengatur bahwa pasangan yang hidup tanpa status pernikahan (kumpul kebo atau kohabitasi) dapat dipidana atas aduan kepala desa dicabut.
"Mengenai kohabitasi, ketentuan pasal ini merupakan delik aduan. Pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan kepala desa yang dapat mengajukan aduan karena kalau kepala desa bisa mengadu berarti dia sudah bukan lagi delik aduan," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (25/5/2022).
Baca juga: Revisi KUHP, Nakes yang Lakukan Aborsi terhadap Korban Pemerkosaan Tak Dipidana
Berdasarkan dokumen berjudul 'Isu Krusial RUU KUHP' yang dirilis Kementerian Hukum dan HAM, RKUHP akan mengatur praktik kumpul kebo hanya bisa diproses hukum atas pengaduan suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perwakinan.
Hal itu tercantum dalam ketentuan yang tertuang dalam Pasal 418 Ayat (2) draf RKUHP.
"Dirumuskan sebagai delik aduan dan pengaduan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak," demikian bunyi keterangan pemerintah dalam dokumen tersebut.
Baca juga: Revisi KUHP Dinilai Harus Tegaskan Pemaksaan Aborsi sebagai Kekerasan Seksual
Sebelumnya, ketentuan bahwa praktik kumpul kebo dapat diadukan kepala desa tercantum dalam Pasal 418 Ayat (3) RKUHP yang dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR pada 2019 lalu sebelum pengesahannya ditunda akibat masifnya penolakan publik.
"(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya," begitu bunyi Pasal 418 Ayat (3) dalam draf RKUHP lama.
Namun, dalam draf RKUHP terbaru, pemerintah mengusulkan agar ketentuan tersebut dihapus.