JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani meminta pidana mati disempurnakan agar tidak menimbulkan miscarriage of justice.
Miscarriage of justice adalah kegagalan dalam mencapai keadilan.
"Politik hukum yang sudah disepakati oleh pembentuk undang-undang itu pertahankan pidana mati. Tapi dalam rangka mencegah, menutup lubang seminimal mungkin terjadinya miscarriage of justice dalam pidana mati, maka KUHAP-nya juga harus kita sempurnakan," ujar Arsul Sani dalam diskusi virtual seperti disiarkan YouTube ICJRid, Selasa (24/5/2022).
Arsul mengungkapkan, walau seluruh fraksi di DPR sepakat untuk mendukung, namun pidana mati tidak boleh dijatuhkan secara sembarangan.
"Tidak ada satu fraksi pun dari 10 fraksi di periode yang lalu, dan sekarang (periode ini) sembilan fraksi, yang posisinya adalah menentang pidana mati," tuturnya.
Namun, Arsul Sani menjelaskan, bukan berarti seluruh anggota DPR mendukung hukuman mati.
Dia mengungkapkan ada beberapa anggota Komisi III DPR yang menentang pidana mati.
Arsul Sani meminta keputusan para anggota yang menentang pidana mati tetap dihormati, sama seperti pendirian masyarakat lain yang juga menolak hukuman mati.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej mengungkapkan hasil survei pada tahun 2015-2016 tentang pidana mati.
Survei itu meminta tanggapan 100 responden yang dimintai tanggapan soal pidana mati.
"Intinya 80 persen setuju pidana mati. Responden yang sama ada pertanyaan 'apakah saudara setuju kalau teroris dihukum pidana mati?'" kata Eddy.
"Anda bisa bayangkan, dari 80 persen yang setuju pidana mati itu hanya 20 persen yang setuju teroris dijatuhi pidana mati," sambungnya.
Eddy menekankan pidana mati bukan hanya persoalan hukum saja, melainkan juga persoalan sosial, agama, dan politik.
Maka dari itu, diambil jalan tengah mengenai pidana mati sebagai pidana khusus.
"Bukan pidana pokok, bukan pidana tambahan. Mengapa pidana khusus? Karena harus selektif dijatuhkan. Kedua, ada masa percobaan," imbuh Eddy.