Di setiap pagi buta,
Hawa dingin masih menusuk raga,
Engkau bersiap kemaskan asa,
Untuk ketenangan dalam negara.
Kau beri kedamaian,
Dalam hidup setiap insan,
Rasa lelah dan keringat di badan,
Tak pernah membuatmu bosan.
Hai Bapak Polisi,
Terima kasih telah sudi,
Melindungi kami setiap hari,
Hingga malam menuju pagi.
Hai Polisiku,
Kaulah pahlawanku,
Niat dan sumpahmu yang syahdu,
Berikan selalu harapan baru.
Sejauh ini, prosesi arus mudik dan arus balik di momen Idul Fitri berjalan dengan lancar.
Bukan perkara mudah dan butuh manajemen operasional yang presisi untuk mengatur lalu lintas “pergerakan” 85 juta pemudik dengan jutaan kendaraan roda empat hingga sepeda motor maupun sepeda “angin”.
Memang tidak sempurna, tetapi kita layak memberikan apresiasi atas dedikasi personel kepolisan yang bertugas di hari-hari jelang dan sesudah Hari Raya Lebaran, di saat warga merayakan kebahagian berkumpul dengan keluarga, sanak dan kerabat di kampung halaman maupun tempat wisata.
Puisi di atas yang berjudul “Polisi Pahlawanku” saya kutip dari situs pelajarindo.com begitu bernas menggambarkan pengorbanan dan loyalitas polisi-polisi saat bertugas dalam pengamanan arus mudik dan balik ini.
Di saat lelah dan penat dalam bertugas mengatur kemacetan jalan karena limpahan kendaraan pemudik di jalur Singaparna – Gentong, Jawa Barat (Jumat, 6 Mei 2020) Kepala Kepolisan Sektor (Kapolsek) Sukaresik, Tasikmalaya Iptu Asep Saefuloh malah mendapat makian kata-kata “goblok” dari Periyanto, penumpang mobil mewah bernomor F-77-1TOH.
Uniknya pula, nomor kendaraan ini berkategori menyalahi aturan karena angka “1” digeser mendekati huruf di pelat sebelah kanan sehingga tidak ada jarak antara angka 1 dengan huruf T.
Andaikan saya menjadi putranya pak kapolsek itu, saya tidak rela ayah yang saya hormati dan bangga-banggakan “digoblok-goblokkan” oleh pengguna jalan yang tidak mau diatur dan seenaknya sendiri.
Kepada petugas saja bisa berlaku arogan, bagaimana jika pemudik yang “hebat” ini bisa memanusiakan orang lain?
Pengaturan dan pengalihan arus lalu lintas di wilayah Kabupaten Tasikmalaya dilakukan petugas demi kelancaran arus mudik dan arus balik yang memang jumlah kepadatannya di atas hari-hari biasa.
Briptu Khoerunisa, anggota Polwan Polres Karawang, Jawa Barat juga mengalami nasib serupa. Dihardik dan dimaki pengguna jalan yang tidak terima dengan pengaturan lalu lintas. Kata-kata makian ditanggapi dengan kesabaran (Kompas.com, 8 Mei 2022).
Demikian juga kejadian “horor” yang menimpa pemudik yang akan menyeberangi Selat Sunda dari Pulau Jawa menuju Pulau Sumatera, antrean masuk ke kapal ferry berimbas kepada stagnasi arus lalu lintas di jalan Tol Jakarta – Merak (Kompas.com, 07/05/2022).
Perjalanan normal yang bisa ditempuh 3 jam, saat arus mudik dan balik bisa mencapai 18 jam, bahkan lebih.
Pemudik begitu mudahnya menyalahkan polisi dengan sumpah serapahnya. Padahal, otoritas dan manajemen penyeberangan laut berada di pemangku yang lain, yakni Kementerian Perhubungan.
Polisi yang berjibaku di jalan-jalan alternatif, di jalan tol, serta di simpul-simpul kemacetan layak disematkan sebagai: polisi sabar!
Bisa jadi para petugas di lapangan memahami arahan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Mabes Polri Irjen Pol Firman Shantyabudi yang selalu menekankan anak buahnya agar mengedepankan kesabaran dan sikap simpatik terhadap para pemudik yang telah kelelahan secara fisik maupun psikis.
Kebetulan Firman Santyabudi adalah putra Mantan Wakil Presiden Jenderal Purn Try Sutrisno
Ketegasan polisi di pengamanan arus mudik dan balik termasuk liburan Hari Raya Idul Fitri diperlihatkan saat mobil ambulans milik Relawan Beringin nekad menerobos aturan penerapan jalan searah atau one way di Kawasan Puncak, Jawa Barat (Sabtu, 7/5/2022).
Seperti halnya mobil-mobil ambulans milik partai-partai yang kerap arogan dan tidak menaati aturan lalu lintas walau tidak dalam kepentingan medis yang mendesak, mobil ambulans B-1070-KIX milik anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Golkar Jamaludin tersebut ketahuan “ngibul”.
Mobil ambulans yang seharusnya dipergunakan untuk penanganan kegawatdaruratan malah dipakai untuk mengangkut pelesir yang akan piknik ke Kawasan Puncak.
Semula Kanit Regident Satlantas Polres Bogor Iptu Danny Trisespianto Arif bahkan ingin mengawal langsung mobil ambulans tersebut ke rumah sakit yang akan dituju.
Karena merasa curiga dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ternyata mobil tersebut tidak dilengkapi sama sekali dengan peralatan medis yang paling sederhana, bahkan tidak dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah serta pajaknya telah lama kedaluwarsa (Kompas.com, 08/05/2022).
Mungkin karena merasa mobil yang dikendarai milik salah satu partai penguasa, pengemudi kendaraan awalnya sangat tidak kooperatif.
Berkat ketegasan Iptu Danny, mobil ambulans “bodong” ini ditahan serta perangkat yang terpasang di kendaraan seperti lampu strobo dan sirene ikut dicopot. Surat tilang pun dikeluarkan untuk pengemudi yang arogan.
Petugas polisi seperti Iptu Danny ini saya juluki: polisi sabar!
Kebetulan Iptu Danny itu putra Mantan Kapolri periode 2013-2015 Jenderal Polisi (Purn) Soetarman yang memang dikenal “berani” menindak pengemudi-pengemudi arogan bak raja jalanan.
Sebelumnya Iptu Danny pernah menindak pengemudi sipil yang menggunakan plat nomor dinas polisi pada 2019 lalu.
Kepada sosok polisi “sabar” yang dicontohkan oleh Kakorlantas Irjen Pol Firman dan polisi “tegas” yang ditampilkan Iptu Danny – yang kebetulan dididik dan ditempa oleh sosok orangtua panutan yang sederhana dan jujur seperti Try Sutrisno dan Soetarman – kita berharap wajah polisi Indonesia akan tetap humanis namun sabar.
Berbeda dengan sosok polisi ideal yang layak dikagumi, kita juga menemukan polisi berpangkat rendah tetapi penghasilan seperti “sultan”.
Bagi warga Kalimantan Utara (Kaltara) terutama di Tarakan dan Bulungan, nama Brigadir Polisi Hasbudi bukan “kaleng-kaleng”.
Nama Hasbudi yang juga dikenal luas karena mengetuai organisasi etnis pemuda dan ketua salah satu cabang olahraga di Kaltara menjadi viral usai dibekuk Direskrimsus Polda Kaltara di Bandara Juwata, Tarakan (Rabu, 4/5/2022), karena mencoba kabur.
Hasbudi dibekuk polisi karena terkait dengan aktivitas penambangan emas ilegal di Desa Sekatak Buji, Kecamatan Sekatak Kabupaten Bulungan.
Oknum polisi ini juga ditengarai menjadi otak peredaran narkoba dan penyelundupan baju-baju bekas dari Malaysia.
Aset milik Hasbudi yang disita polisi mencapai puluhan bahkan ratusan miliar rupiah, baik nilai aset properti dan kendaraan serta uang tunai (Kompas.com, 6/05/2022).
Yang lebih “mencengangkan” lagi, Hasbudi selama ini rajin memberikan upeti kepada pejabat-pejabat yang “melindungi” sepak terjangnya.
Tidak segan-segan, Hasbudi ini membangunkan rumah beserta isi-sinya untuk pejabat yang bisa diajak untuk “main mata”.
Tindakan Polda Kaltara yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan analisa pendalaman dan asset tracing karena kasus Hasballah terkait tindakan pidana pencucian uang harus terus dimonitor oleh media dan publik.
Kita tentu tidak ingin “gegap gempita” di saat pengungkapan awal kasus tersebut akan berakhir redup di penghujung jalan.
Oknum polisi seperti Briptu Hasbudi ini saya sebut polisi “tajir” yang mendapatkan kekayaan dengan cara haram jadah. Entah kepada siapa, Briptu Hasbudi ini belajar menjadi mafia tengik.
Begitu banyak “wajah” polisi di masyarakat. Padahal menjadi polisi banyak didambakan oleh kalangan muda.
Tampil gagah, kehadirannya sangat membantu masyarakat yang butuh pengayoman keamanan.
Dibalik seragam warna coklatnya, begitu banyak harapan tersemat untuk kehadirannya di lingkungannya.
Kadang pengguna jalan kerap terkecoh dengan patung yang dibuat menyerupai petugas, namanya juga patung polisi.
Sementara dari bentuknya yang “mengganggu” kenyamanan mengemudi, pengguna jalan kerap merasa kesal.
Padahal bagi pemilik rumah dan yang memiliki anak-anak kecil, kehadirannya membuat aman. Namanya juga polisi tidur.
Ada polisi patung, ada polisi tidur, ada pula polisi tegas, polisi sabar serta polisi “tajir”.
Tetapi sekarang saya haqqul yaqin, polisi jujur yang identik dengan sosok Hoegeng Iman Santoso - Kapolri era 1968-1971 yang berani menentang Presiden Soeharto - kini kita juga memiliki sosok-sosok polisi yang membanggakan.
Semoga personel polisi kita masih banyak yang seperti sosok Briptu Khoerunisa, Iptu Asep, Iptu Danny, dan Irjen Firman.
Oknum-oknum polisi seperti Hasbudi, entah itu pangkatnya jenderal, ajun komisaris hingga brigadir saatnya “dienyahkan” dari korps berbaju coklat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.