Pencapaian tidak dapat dilakukan dalam sekejap atau serta merta, namun dibutuhkan upaya yang gigih dan persisten, sekaligus adaptif terhadap keadaan sosial ekonomi yang ada.
Namun demikian, harga dan teknologi energi fosil dunia saat ini lebih kompetitif, murah, dan tersedia melimpah sebagai sumber daya alam.
Pada 2017, misalnya, kapasitas pembangkit tenaga listrik energi fosil Indonesia masih sebesar 85 persen, utamanya batu bara.
Pada 2025 energi primer kelistrikan diproyeksikan sebesar 102,6 MTOE, porsi terbesar batu bara 59 persen, disusul EBT 27 persen dan gas 14,1 persen, meskipun pada tahun 2050 porsi batu bara diproyeksikan berkurang menjadi 52 persen.
Banyak negara dan daerah juga secara ekonomi masih sangat bergantung dari aktifitas eksploitasi dan pembakaran energi fosil.
Di Indonesia, roda perekonomian dan keuangan negara, termasuk kestabilan fiskal dana bagi hasil yang menopang anggaran di berbagai daerah, juga masih signifikan bertumpu pada energi fosil.
Karena itu, memaksa beralih drastis ke energi baru akan melumpuhkan dan memiskinkan masyarakat di banyak negara, termasuk Indonesia.
Jika ini terjadi, akan memunculkan bentuk ketidakadilan baru, yang bertentangan dengan salah satu prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu tidak ada satu negara pun yang boleh tertinggal (no one country left behind).
Oleh karena itu, transisi ke energi nonfosil harus dipandang secara bijaksana dan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi masing-masing negara.
Namun satu hal yang pasti adalah Indonesia harus terus menegaskan upaya transisi tersebut agar di masa depan kita tidak tertinggal dari negara-negara lain dan tidak terjebak di dalam kondisi kelangkaan energi.
Secara spesifik, Indonesia hingga hari ini terus berupaya keras untuk menaikkan bauran energi dari sektor EBT, seperti tenaga matahari, PLTA (air), panas bumi, tenaga angin maupun bio massa.
Namun demikian, kondisi alam yang banyak berawan dan bermusim penghujan, tiupan angin yang tidak stabil, serta karakteristik wilayah kepulauan yang kadang jauh dari sumber-sumber energi potensial masih menjadi kendala.
Sekali lagi, semua ini harus terkomunikasikan dengan baik kepada dunia dan para anggota G20 agar dapat saling bahu membahu untuk memberikan kontribusi bersama mendukung upaya Indonesia sesuai dengan perencanaan strategis nasional.
Hal tersebut juga penting ditekankan oleh pemerintah agar negara-negara anggota G20 sekaligus memahami bahwa kesempatan untuk terlibat di dalam investasi hijau dan energi terbarukan di Indonesia masih sangat besar dan luas.
Sehubungan dengan konstelasi di atas, beberapa strategi perlu dilakukan Indonesia dalam kapasitasnya sebagai presidensi G20.