JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mengatakan, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dapat mengajukan restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) saat membuat laporan kepada pihak kepolisian.
Restitusi tersebut akan dibayarkan oleh pelaku dan pengajuan restitusi dapat dikoordinasikan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar menjelaskan, pengajuan restitusi oleh UPTD PPA dimungkinkan lewat Undang-Undang TPKS.
"Dalam UU TPKS, UPTD PPA pada saat membuat laporan kepada pihak kepolisian dapat mengajukan restitusi bagi korban dimana nominal untuk restitusi yang akan dibayarkan oleh pelaku, dapat dikoordinasikan dengan pihak LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)," kata Nahar seperti dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (26/4/2022)..
Baca juga: UU TPKS Wajibkan Pemberian Restitusi dan Dana Bantuan ke Korban Kekerasan Seksual
"Hak korban ini dilaksanakan setelah adanya penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” lanjut Nahar.
Ia pun menjelaskan, lewat UU TPKS, peran dan fungsi UPTD PPA menjadi kian penting.
Nahar pun mengatakan, UPTD PPA akan terus diperkuat sesuai dengan mandat yang diamanahkan dalam UU TPKS termasuk di antaranya mengawal pemenuhan hak-hak korban dan pendampingan selama proses peradilan.
Menurut Nahar, UPTD PPA yang baru lebih terintegrasi, multi aspek dan lintas fungsi.
"Mensyaratkan perlunya bermitra dengan lembaga terkait, juga perlu adanya satu tim terpadu dari unsur pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Kesehatan, dan sosial dalam pemulihan para korban khususnya terkait penyediaan layanan jaminan sosial dalam bentuk jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan," ucap Nahar.
Ia pun mencontohkan kasus kekerasan seksual di Bandung, Jawa Barat saat hakim memutuskan bahwa pelaku wajib membayar restitusi terhadap 13 korbannya dengan nominal yang berbeda-beda.
Besaran restitusi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak berdasarkan hasil assestmen yang dilakukan LPSK.
Nahar menjelaskan, UPTD PPA akan mengusulkan restitusi yang kemudian akan diputus oleh hakim.
“UU TPKS ini mengingatkan kita semua yang berkutat pada isu perempuan dan anak, untuk memastikan hak-hak korban diperhatikan. Pengajuan restitusi terhadap pelaku wajib dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena restitusi itu adalah hak korban," jelas Nahar.
Terkait restitusi, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati juga menegaskan bahwa restitusi sudah ada ketentuan hukumnya. Dengan demikian, restitusi bisa diupayakan untuk kepentingan korban.
Di dalam UU TPKS dijelaskan, saat penyitaan aset pelaku tidak mencukupi, maka negara tetap memberikan pendampingan dan diupayakan untuk korban menerima kompensasi.
Baca juga: Ketua DPR Harap Pemerintah Segera Selesaikan Aturan Turunan UU TPKS
"Jadi UPTD PPA tidak usah ragu mengajukan restitusi karena dalam UU TPKS diatur prinsip victim trust fund atau semacam dana bantuan untuk korban, yang bisa bersumber dari APBN, APBD, filantropi, program CSR atau kepedulian dari pihak swasta dan sumbangan dari perorangan. Akan ada rekening khusus yang akan diatur dalam peraturan presiden,” jelas Ratna.
Undang-Undang TPKS saat ini masih menunggu proses akhir penomoran dari Sekretariat Negara untuk bisa menjadi berkas negara yang berkekuatan hukum.
Prinsip yang dipakai dalam proses penyelidikan terhadap pelaku adalah delik aduan, kecuali korban dan pelakunya berstatus anak.
Jenis pidana yang dijatuhkan juga berlapis, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, pidana pemberatan dan denda bagi pelaku.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.