JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Pengada Layanan (FPL) menegaskan bahwa sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), nyata terjadi di Tanah Air.
"Sembilan tindak pidana kekerasan seksual itu terjadi dilaporkan dan ditangani oleh lembaga anggota FPL di 29 provinsi," kata perwakilan FPL Fathurozi dalam konferensi pers daring, Kamis (1/10/2020).
FPL sendiri mencatat, ada 5.176 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dan ditangani pihaknya selama tahun 2017-2020 di 29 provinsi.
Dari total kasus, ia menyebut bahwa hampir 2.000 kasus merupakan kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Komnas Perempuan Catat 115 Kasus Kekerasan Seksual Libatkan Pejabat Publik Selama 2018-2019
Dari jumlah tersebut, bentuk kekerasan seksual yang terjadi adalah pemerkosaan (65 persen), pelecehan seksual (25 persen), penyiksaan seksual (3 persen), eksplotasi seksual (2 persen).
Kemudian, pemaksaan aborsi (1 persen), pemaksaan pelacuran (1 persen), perbudakan seksual (0,4 persen), pemaksaan kontrasepsi (0,2 persen) dan pemaksaan perkawinan 0,2 persen).
Kesembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual tersebut sebagaimana yang tercantum dalam draf RUU PKS.
Selain itu, Fathurozi menyoroti soal praktiknya di lapangan.
Ia mengatakan, masih banyak korban kekerasan seksual mendapatkan stigma negatif, mendapat hukuman sosial, hingga mengalami kriminalisasi.
Baca juga: 4 Cara Orangtua Hindari Anak Jadi Korban atau Pelaku Kekerasan Seksual
Proses penegakan hukum terhadap kasus yang dialami korban pun tak menunjukkan jalan mulus.
"Hanya 15-20 persen kasus kekerasan seksual sampai divonis di pengadilan dan itu mayoritas adalah kasus dengan korban anak," ucap Fathurozi .
"Kasus kekerasan seksual dengan korban orang dewasa sangat sulit laporannya diproses sampai ke pengadilan," sambung dia.
Korban masih dibebankan dengan pembuktian serta tidak adanya perlindungan dari aparat penegak hukum terhadap ancaman yang diterima korban.
Ia berpandangan, lembaga negara, aparat penegak hukum, hingga pemerintah daerah, masih lemah dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi seluruh warga negara dari kekerasan seksual.
Baca juga: Psikolog: Ini Alasan Banyak Remaja Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Anak
Maka dari itu, FPL berpandangan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU PKS sangat mendesak dan tidak dapat ditunda-tunda lagi.
FPL pun mendesak agar DPR dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan RUU PKS.
Tujuannya, agar korban mendapatkan kepastian serta layanan dan agar negara mampu mencegah hingga memulihkan korban.
"Selama RUU PKS ini belum segera dibahas dan disahkan oleh pemerintah Indonesia, maka pelanggaran hak asasi warga negara, terutama korban kekerasan seksual, akan terus terjadi dan kekerasan seksual akan terus meningkat," tutur Fathurozi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.