Selain perjanjian internasional, biasanya terdapat pula memorandum of understanding atau MoU dan framework atau kerangka kerja yang dibentuk sebagai dasar penyusunan atau dasar implementasi perjanjian internasional.
Posisi Agreed Minutes sebagai salah satu bentuk perjanjian internasional dapat dilihat dari kualifikasi yang diatur dalam Konvensi Wina Tentang Perjanjian Internasional Tahun 1969 (VCLT).
Pasal 1 ayat 1 mengatur perjanjian internasional sebagai: (1) kesepakatan antar negara; (2) dalam bentuk tertulis; (3) sesuai dengan ketentuan hukum internasional; (4) tertuang dalam satu atau lebih instrumen; dan (5) untuk keperluan apapun.
Selain itu, penggunaan Agreed Minutes sebagai bentuk perjanjian internasional juga sudah pernah diputus oleh Mahkamah Internasional.
Pada kasus antara Qatar dengan Bahrain Tahun 1994, Mahkamah Internasional memutus bahwa Exchange of Letter Tahun 1987 dan Minutes pertemuan Menteri Luar Negeri antarnegara yang berisikan komitmen antarnegara dan telah disetujui setelah pertemuan, merupakan bentuk perjanjian internasional yang membentuk kewajiban dan harus dilaksanakan oleh negara.
Berdasarkan kualifikasi dan preseden ini, maka Agreed Minutes yang mencatat hasil RAN Meeting Tahun 1948 dan komitmen antara Belanda dan Inggris sebagai prasyarat pembentukan batas FIR Jakarta – FIR Singapura merupakan komitmen, yang harus dipenuhi, tidak hanya kedua negara, tetapi juga Indonesia dan Singapura, sebagai negara-negara yang meneruskan komitmen Belanda dan Inggris dalam pengelolaan kedua FIR tersebut.
Pada prinsipnya, setiap negara yang baru merdeka memiliki Tabula rasa atau halaman baru yang bersih dari segala komitmen pada perjanjian internasional yang dibentuk oleh negara sebelumnya.
Negara yang baru merdeka ini kemudian memiliki hak untuk secara unilateral mendeklarasikan dirinya sebagai penerus hak dan kewajiban negara sebelumnya pada wilayah yang sama.
Dalam konteks ini, penting untuk memastikan di mana posisi Indonesia dan Singapura.
Setelah Konferensi Meja Bundar Tahun 1949, Belanda telah menginformasikan pada Januari 1950 bahwa Indonesia akan meneruskan kewajiban Belanda dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional 1944 pada wilayah Kepulauan Indonesia.
Indonesia telah mengamini hal tersebut melalui suatu Deklarasi Penerimaan Tanggung Jawab yang diajukan ke ICAO pada April 1950.
Hal serupa juga dilakukan oleh Singapura pada Mei 1966 setelah kemerdekaannya pada Tahun 1965.
Hal ini berarti, Indonesia dan Singapura telah mengikatkan diri kepada Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, ICAO, serta instrumen-instrumen yang dibentuk oleh organ–organ organisasi tersebut, termasuk pemetaan FIR.