JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 458 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemohon dalam perkara ini adalah Komisioner KPU RI masa jabatan 2017-2022 Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman.
Keduanya menyoal sifat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dalam UU Pemilu disebut final dan mengikat.
Pasal 458 Ayat (13) UU Pemilu berbunyi, "Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) berifat final dan mengikat".
Baca juga: MK Tolak Permohonan Perpanjangan Batas Usia Pensiun TNI
Menurut MK, ketentuan tersebut bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu.
Mahkamah juga berpendapat putusan DKPP adalah putusan pejabat tata usaha negara (TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di pengadilan tata usaha negara (PTUN).
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," demikian dibacakan Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/3/2022).
"Menyatakan ketentuan Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, 'Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN',” lanjut Anwar.
Dalam putusannya, Mahkamah memastikan, kedudukan DKPP setara dengan penyelenggara pemilu lainnya. Tidak ada yang lebih superior antara KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Mahkamah menegaskan bahwa DKPP bukanlah lembaga peradilan. Oleh karenanya, Putusan DKPP merupakan putusan pejabat tata usaha negara yang dapat menjadi objek gugatan di PTUN.
Artinya, presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu harus melaksanakan Putusan DKPP.
Namun, jika ada pihak yang tidak menerima putusan tersebut, maka mereka dapat mengajukan gugatan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti Putusan DKPP ke PTUN.
Nantinya, putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat adalah bahwa presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan dalam PTUN.
"Sehingga, dengan demikian, dalam konteks ini, presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan Putusan DKPP ataupun Putusan TUN yang mengoreksi ataupun menguatkan Putusan DKPP," demikian pertimbangan putusan dibacakan oleh hakim konstitusi Suhartoyo.