Dalam kajian bertajuk Public Expenditure Review Spending for Better Result yang dikonfirmasi oleh data administrasi Kemendikbud, menunjukkan bahwa hanya 25 persen ruang kelas di pendidikan dasar dan 40 persen ruang kelas SMA yang berada dalam kondisi baik.
Dalam Indeks Pembangunan TIK Indonesia tahun 2020, angkanya cukup tinggi di mana Indonesia mendapatkan angka 5,59, naik dibandingkan tahun lalu sebesar 5.32.
Peningkatan ini cukup tinggi dan menunjukkan ada upaya masif di mana Indonesia berusaha memeratakan infrastruktur digital di setiap daerah.
Ada lima besar provinsi dengan Indeks Pembangunan TIK-nya tertinggi, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur.
Namun demikian, ketika pandemi menghampiri, banyak sekolah yang kesulitan mendapatkan akses infrastruktur digital.
Contohnya adalah SMA Negeri 1 Tabukan Utara, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Hanya 60 persen dari muridnya melek digital, sedangkan 40 persen lainnya harus berusaha lebih untuk bisa beradaptasi dengan mekanisme belajar daring.
Ada tiga penyebab kenapa 40 persen itu bersusah payah dalam pembelajaran daring, yaitu akses internet belum masuk ke sebagian daerah tempat tinggal murid, tidak punya smartphone, dan kondisi ekonomi keluarga murid yang rendah.
Padahal indeks pembangunan TIK 2020 di Sulawesi Utara berkisar 5,69, meningkat dari tahun 2019 dengan angka 5,46.
Kemendikbud pada tahun 2020 mencatat, 31,8 persen pelajar tak mendapat akses internet saat pandemi corona, sehingga kesulitan mengikuti belajar online. Lalu, 15,7 persen tidak mempunyai ponsel pintar.
Selain itu, Kemendikbud juga mencatat bahwa masih ada 12.000 sekolah di daerah 3T yang belum mendapatkan akses internet dan 48.000 sekolah dengan jaringan internet yang buruk.
Kondisi seperti ini mempersulit jangkauan pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat karena terkendala jaringan dan akses daerah yang belum memiliki internet yang stabil.
Masalah teknologi adalah masalah multi-dimensi karena meliputi permasalahan ekonomi, sosial, dan literasi teknologi.
Masyarakat berekonomi rendah mungkin tidak akan berfokus untuk membeli teknologi terkini.
Mereka hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni sandang, papan, dan pangan.
Keluarga berekonomi rendah hanya ingin memastikan bahwa ada sepiring nasi di meja makan dan atap rumah yang kokoh yang bisa melindungi mereka dari segala cuaca.
Teknologi bagi mereka masih menjadi kebutuhan sekunder, bahkan tersier. Mereka tidak punya daya beli yang kuat untuk membeli peralatan teknologi guna menunjang pendidikan.
Kalau kita kaitkan dengan presidensi G20 Indonesia, kondisi ini tidak hanya dialami oleh Indonesia.
Negara-negara menengah ke bawah, terutama negara-negara di benua Afrika kondisinya hampir serupa dengan Indonesia, walaupun Indonesia masih lebih baik.
Misalnya, Global Digital Report 2020 menunjukkan bahwa internet hanya dinikmati oleh 34 persen populasi dari 1,2 miliar penduduk yang mendiami benua Afrika.
EdTech Hub juga menemukan fakta menarik dari hasil survei yang mereka lakukan pada tahun 2020.
Menurut hasil survei, 85 persen rakyat di benua Afrika mengetahui bahwa akan terjadi penggunaan teknologi dalam skala masif sebagai imbas dari pandemi.
Tetapi, di sisi lain, ada nada yang sangat pesimis di mana 74 persen rakyat Afrika menganggap integrasi teknologi akan memperparah kesenjangan pendidikan di desa dan di kota.
Apabila pendidikan di negara menengah ke bawah perlu meningkatkan kualitas pendidikan mereka, maka teknologi harus bisa diakses seluruh rakyat tanpa memberatkan mereka.
Isu ini penting karena negara menengah ke bawah akan terus tertinggal bila tidak meningkatkan akses teknologinya.
Dari konteks kepentingan Indonesia, ketidakmerataan teknologi akan menghasilkan sumber daya manusia yang tidak merata antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan semakin besar dan semakin banyak generasi muda yang lebih tertarik ke kota dibandingkan membangun desanya sendiri.
G20 Momen anak muda bersinar
LinkedIn mengeluarkan riset yang menarik tentang Global Talent Trend tahun 2022. Hasil riset mereka menemukan bahwa ada empat kekuatan yang akan mengubah cara kerja manusia dalam 5-10 tahun ke depan, yaitu terobosan teknologi (53 persen), kelangkaan sumber daya dan perubahan iklim (39 persen), perubahan dalam peta kekuatan ekonomi global (36 persen), dan pergeseran demografi (33 persen).
Empat kekuatan ini perlu direspons dengan menguatkan sektor pendidikan.
Keempat kekuatan di atas, khususnya tentang terobosan teknologi mulai memengaruhi bursa kerja.
Misalnya, pada Oktober 2021 lalu, Google meluncurkan program baru untuk mendapatkan 40 juta orang terlatih yang memiliki kemampuan mengoperasikan Google Cloud.
Sementara itu, menurut Randstad Foresight 2021, ada sembilan in-demand skill yang akan memenuhi bursa lowongan kerja, seperti Artificial Intelligence (AI), virtual dan augmented reality, keamanan siber, cloud computing, blockchain, cloud computing, desainer UI/UX, data science, dan otomatisasi proses robotik.
Dengan kata lain, kemampuan teknologi akan mendominasi apa yang dibutuhkan oleh dunia industri.
Ini pun wajar karena perkembangan teknologi bergerak secara eksponensial. Akan tetapi, menurut Korn Ferry di dalam laporannya berjudul Future of Work Trend 2022, sebanyak 69 persen perusahaan yang paling dikagumi di dunia menghargai agility dan rasa ingin tahu dibandingkan seseorang dengan sejarah karir dan pengalaman.
Artinya, kita perlu menguatkan di berbagai sektor, hard skill dan soft skill.
Oleh karena itu, dunia pendidikan memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar. Masih banyak hal-hal yang perlu diperbaiki agar pendidikan bisa mempertahankan marwahnya sebagai pencetak sumber daya manusia yang unggul.
Terlebih, jika bicara talenta digital khususnya, menurut Randstad Foresight 2021, Britania Raya, Tiongkok, India, dan Amerika Serikat punya talenta digital yang sangat besar.
Namun demikian, Indonesia patut berbangga karena memiliki anak muda yang inovatif dan kreatif.