PP No. 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI adalah salah satu contoh nyata dari penyimpangan prosedur dan cacat materiil-formil dalam penyusunan statuta perguruan tinggi yang sarat dengan kepentingan politis sekelompok orang tertentu.
Bahkan, Ketua DGB UI, Hakristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa masalah fatal dari penerbitan PP tersebut adalah absennya proses pembahasan RPP dan tidak adanya asas transparasi dalam penyusunannya (TEMPO 26/07/2021).
Kasus serupa mungkin saja terjadi di perguruan tinggi lain. Oleh karena itu, prinsip musyarawah untuk mencapai mufakat dan demokrasi harus secara tegas diterapkan dalam penyusunan statuta.
Setiap kebijakan dan peraturan harus dicermati secara kritis supaya tidak terjadi celah untuk penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok tertentu.
Prinsip demokrasi yang dimaksud di sini adalah dalam penyusuan statuta aspirasi dan suara sivitas akademika tidak boleh dinihilkan.
Mereka yang terlibat dalam penyusunan statuta harus memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan kritik jika terjadi ketidaksesuaian.
Keputusan penetapan statuta harus melalui kajian yang logis serta dilakukan berdasarkan keputusan bersama bukan kelompok.
Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan statuta adalah ‘roh’ dari perguruan tinggi. Jika dalam penyusunannya saja sudah ‘cacat’ demokrasi, maka bukan tidak mungkin perguruan tinggi hanya akan menjadi ‘korporasi’ yang disetir oleh segelintir orang yang hanya mencari keuntungan diri sendiri dan bukan tidak mungkin KKN akan tumbuh ‘subur’.
Oleh karena itu, adalah tugas dari seluruh sivitas akademika untuk menjadikan kampus sebagai ‘kekuatan’ yang mandiri, kritis, dan bebas dari berbagai kepentingan politik-ekonomi supaya tidak dikuasai sekelompok orang yang hanya mementingkan pihak tertentu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.