SALAH satu keistimewaan kampus sebagai suatu institusi adalah sifatnya yang independen, netral, dan inovatif serta kritis terhadap segala bentuk aksi politik kekuasaan dan ketidakberesan sosial yang terjadi di masyarakat.
Seluruh insan kampus seperti dosen dan mahasiswa berhak memperoleh ruang dan kebebasan untuk mengembangkan, mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat supaya tidak ditindas oleh rezim kekuasaan (Tan Malaka, 1926).
Selain itu, dominasi kekuasaan apalagi penjajahan tidak memiliki tempat di lingkungan kampus.
Terlebih lagi jika itu dilakukan oleh mereka yang memiliki posisi jabatan tertentu karena pada dasarnya jabatan itu hanya sebatas beban kerja tambahan yang tidak semestinya digunakan melakukan dominasi atau penyalahgunaan kekuasaan.
Misalnya, sekalipun seorang rektor, ia tidak berhak untuk bersikap otoriter terutama dalam membuat kebijakan/peraturan, terlebih lagi menerapkan sikap kepemimpinan berbasis style 'komando' yang berpotensi pada menguatnya feodalisme dan penyeragaman pola pikir yang menekan daya kritis, kreativitas, dan inovasi.
Dalam cacatan sejarah bangsa, kelompok intelektual memiliki peran penting. Di era kolonial, semangat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan rakyat lahir dari semangat nasionalisme dan anti-penjajahan para intelektual muda pada masa itu.
Lagi-lagi pada tahun 1998, mahasiswa dan kelompok intelektual kampus menjadi garda terdepan yang berjuang keras menentang dan menggulingkan pemerintahan Orde Baru yang militeristik, otoriter, dan represif.
Kejatuhan rezim Orde Baru ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari kesadaran kolektif kelompok intelektual yang melakukan berbagai kajian ilmiah kritis untuk membongkar tindakan korup pemerintah pada masa itu kepada publik (Merlyna Lim, 2003).
Bahkan di era reformasi saat ini yang ditandai dengan kebebasan berpendapat, kelompok intelektual kampus juga terus berperan aktif mengkritik keras kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab segenap sivitas akademika untuk memastikan bahwa kampus adalah ruang yang harus bebas dari kepentingan politik-kekuasaan.
Meskipun begitu, memastikan kampus bersih dari unsur kepentingan politik-kekuasaan memang bukan pekerjaan mudah. Belum lagi sekelumit ‘dosa’ besar yang masih menghantui dunia pendidikan kita saat ini.
Sebagai contohnya adalah perihal penolakan dan penggugatan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia terhadap terbitnya PP No. 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI yang dinilai ‘cacat’ formil dan materil serta sarat dengan unsur politik dan kepentingan.
Beberapa poin penting utama yang dipermasalahkan adalah tentang dibolehkannya rektor-wakil rektor untuk merangkap jabatan di BUMN/BUMD (hanya dilarang untuk jabatan direksi).
Kemudian penghapusan kewenangan untuk memberi masukan terhadap rektor terkait Rencana Strategis, Rencana Akademik, Rencana Program Jangka Panjang, dan pengurangan kewajiban UI untuk mengalokasikan dana bagi mahasiswa yang tidak mampu.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI, Prof. Manneke Budiman menilai PP tersebut sarat dengan kepentingan politik dan menduga ada campur tangan dari pihak pemerintah.
Parahnya lagi PP tersebut dibuat tanpa melibatkan Dewan Guru Besar dan Senat Akademik.
Menurut Manneke, keputusan yang ‘cacat’ demokrasi ini diduga ditunggangi oleh tiga kelompok.
Pertama; orang-orang di luar UI yang membutuhkan sumber daya, infrastruktur, serta sosial kapital untuk konsolidasi menuju kekuasaan.
Kedua: mereka yang berada di UI, namun tidak bertujuan mengabdi secara permanen dan memanfaatkan universitas sebagai ‘batu loncatan’ untuk meraih ambisi politik.
Ketiga: mereka yang tinggal permanen di UI yang hanya gemar mencari keuntungan pribadi (Sindonews.com 31/07/2021).
Apa yang terjadi di UI ini mungkin saja hanya salah satu dari banyak kasus politik kepentingan/kekuasaan yang terjadi di lingkungan kampus.
Artinya mengembalikan kampus sebagai ruang yang steril dari kepentingan politik akan menjadi ‘pekerjaan rumah’ kedepannya.
Kekuasaan memang sangat membuai manusia karena pada dasarnya menurut Friedrich Nietzsche manusia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan karena keinginan untuk berkuasa ada pada tiap individu.
berkaca pada hal ini, siapapun bisa berpotensi meraih kekuasaan dengan jalan apapun, ‘baik’ atau ‘buruk’.
Belajar dari kasus di atas, kita sebetulnya dapat mencermati kepentingan penguasa di dalam suatu organisasi. Dalam konteks ini institusi pendidikan, melalui statuta.
Statuta merujuk pada anggaran dasar atau regulasi suatu organisasi (seperti perguruan tinggi).
Sedangkan di dalam Permendikbud RI No.139 Pasal 1 tahun 2014 tentang Pedoman Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi disebutkan bahwa statuta adalah peraturan dasar pengelolahan suatu perguruan tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di perguruan tinggi yang bersangkutan.
Statuta disusun dengan melibatkan organ-organ penting di perguruan tinggi seperti Dewan Guru Besar, Senat Universitas dan disesuaikan dengan kebutuhan dan pengembangan perguruan tinggi terutama terkait dengan penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi.
Dengan mencermati definisi dan fungsi dari statuta di atas, bukan tidak mungkin terdapat celah bagi sekelompok orang yang memiliki porsi kekuasaan untuk menyusun butir-butir statuta yang disesuaikan dengan kepentingan mereka.
Artinya, politik perebutan dan dominasi kekuasaan di kampus sangat mungkin bisa terjadi dan demokrasi yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam pengambilan keputusan di lingkungan kampus juga bisa saja dimanipulasi.
PP No. 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI adalah salah satu contoh nyata dari penyimpangan prosedur dan cacat materiil-formil dalam penyusunan statuta perguruan tinggi yang sarat dengan kepentingan politis sekelompok orang tertentu.
Bahkan, Ketua DGB UI, Hakristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa masalah fatal dari penerbitan PP tersebut adalah absennya proses pembahasan RPP dan tidak adanya asas transparasi dalam penyusunannya (TEMPO 26/07/2021).
Kasus serupa mungkin saja terjadi di perguruan tinggi lain. Oleh karena itu, prinsip musyarawah untuk mencapai mufakat dan demokrasi harus secara tegas diterapkan dalam penyusunan statuta.
Setiap kebijakan dan peraturan harus dicermati secara kritis supaya tidak terjadi celah untuk penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok tertentu.
Prinsip demokrasi yang dimaksud di sini adalah dalam penyusuan statuta aspirasi dan suara sivitas akademika tidak boleh dinihilkan.
Mereka yang terlibat dalam penyusunan statuta harus memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan kritik jika terjadi ketidaksesuaian.
Keputusan penetapan statuta harus melalui kajian yang logis serta dilakukan berdasarkan keputusan bersama bukan kelompok.
Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan statuta adalah ‘roh’ dari perguruan tinggi. Jika dalam penyusunannya saja sudah ‘cacat’ demokrasi, maka bukan tidak mungkin perguruan tinggi hanya akan menjadi ‘korporasi’ yang disetir oleh segelintir orang yang hanya mencari keuntungan diri sendiri dan bukan tidak mungkin KKN akan tumbuh ‘subur’.
Oleh karena itu, adalah tugas dari seluruh sivitas akademika untuk menjadikan kampus sebagai ‘kekuatan’ yang mandiri, kritis, dan bebas dari berbagai kepentingan politik-ekonomi supaya tidak dikuasai sekelompok orang yang hanya mementingkan pihak tertentu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.