Nasihat Mega masuk dalam sukma Puan, tapi ada pula keluhannya. “Duh saya anak yang biasa dimanja, harus melakukan semuanya itu,” ujar Puan.
Kemudian Puan mengaku pada papanya, Taufiq Kiemas.
“Papa ini gimana, aku capek banget nih,” kata Puan.
Papanya menjawab, menghibur. “Ah, ibu kamu bilang kamu bisa. Kamu pasti bisa,” kata Taufiq Kiemas pada putrinya.
Benar ternyata Puan bisa. “Secara nasional, suara saya nomor 2 terbesar,” kata Puan dalam artikelnya tahun 2012 yang diterbitkan penerbit Gramedia Pustaka Utama Jakarta (Kompas Gramedia).
Boleh dibilang bagi Puan masuk dunia politik praktis (anggota partai dan ikut kampanye pemilihan legeslatif) bagikan terjun ke “neraka” dari alam “manja”.
Tapi Puan merasa keberhasilannya ini tidak mendapat pujian dari mamanya, Megawati.
Ayahnya, almarhum Taufiq Kiemas pernah mengatakan kepada Puan, “Ibu kamu pelit banget, tiap kali kamu berhasil nggak pernah memuji”.
Di awal artikel yang dituliskan dengan bagus sekali, Mbak Puan mengatakan begini.
“Sejak kecil, saya memang nempel sekali dengan Ibu dan ayah saya. Mungkin karena kakak saya keduanya laki-laki dan saya anak bungsu dan saya anak bungsu serta perempuan sendiri, saya dimanja oleh keluarga,” kata Puan 10 tahun lalu.
Namun, ketika duduk di bangku SMA, Puan sering ikut mamanya dalam banyak acara dan peristiwa politik, termasuk ketika terjadi tragedi 27 Juli 1996.
”Saya merasa, saya harus di dekat Mama untuk mendampingi pada saat susah,” kata Puan.
Di masa pemerintahan Orde Baru tahun 1993 di Surabaya, Mbak Puan menyaksikan mamanya dibentak-bentak dan dimaki-maki orang yang menghendaki Megawati tidak jadi ketua umum partai tersebut.
Puan menyaksikan mamanya dengan tenang menghadapi orang yang memakinya. Puan menangis. Meluncurlah nasihat Mega pada putrinya.
“Kamu boleh menangis, tapi tidak boleh berlebihan. Kamu harus kuat. Baru seperti ini saja, kamu menangis, apalagi nanti nanti ada peristiwa lebih besar daripada ini,” kata Mega pada Puan yang tetap melanjutkan tangisnya.