Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belanda Akui Kekerasan Masa Agresi, Pakar: Korban Bisa Dapat Ganti Rugi

Kompas.com - 18/02/2022, 21:16 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan ada tiga poin penting dalam permintaan maaf dari Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, terkait dengan kekerasan ekstrem di masa revolusi 1945 sampai 1949.

Salah satu poin yang penting menurut Hikmahanto adalah soal ganti rugi kepada korban.

"Keluarga korban tindak kekerasan berhak atas ganti rugi dengan adanya pengungkapan sejarah ini," kata Hikmahanto ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (18/2/2022).

Menurut Hikmahanto dampak lain permintaan maaf itu adalah wujud Belanda mengakui militer mereka melakukan tindak kekerasan di Indonesia di masa lalu.

Baca juga: Sejarawan Sebut Belanda Bisa Revisi Sejarah Usai Akui Kekerasan Masa Revolusi

"Bahwa militer Belanda memang melakukan kekejaman secara sistematis. Selanjutnya pemerintah Belanda bertanggung jawab," ujar Hikmahanto.

Permintan maaf itu diutarakan Mark Rutte pada Kamis (17/2/2022), setelah sebuah penelitian mengungkap kekerasan yang dilakukan Belanda saat masa kolonial di Indonesia.

"Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya menyampaikan permintaan maaf terdalam saya kepada rakyat Indonesia atas kekerasan sistematis dan ekstrem dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu," kata Rutte dalam konferensi pers, dikutip dari Kantor Berita AFP, Jumat (18/2/202).

Rutte mengatakan dia juga menyesal pemerintah Belanda sebelumnya menutup mata terhadap masalah ini.

"Kami juga meminta maaf kepada semua orang yang tinggal di Belanda yang harus hidup dengan konsekuensi perang kolonial di Indonesia, termasuk para veteran perang yang berperilaku baik," ujar Rutte.

Baca juga: Deretan Permintaan Maaf Belanda Kepada Indonesia

Dalam kajian terbaru yang dilakukan selama empat tahun oleh peneliti Belanda dan Indonesia, ditemukan bahwa pasukan Belanda membakar desa-desa dan melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan eksekusi selama konflik 1945-1949. Kekerasan ekstrem ini dilakukan dengan dukungan diam-diam dari pemerintah.

Dalam studi tersebut peneliti menyebut bahwa pihak Belanda mulai dari politikus, pejabat, pegawai negeri, hakim, dan sebagainya mengetahui tentang kekerasan ekstrem dan sistematis itu.

"Ada kemauan kolektif untuk memaafkan, membenarkan dan menyembunyikannya, dan membiarkannya tanpa hukuman. Semua ini terjadi dengan tujuan yang lebih tinggi: memenangkan perang," ungkap peneliti.

Kejahatan perang pertama kali diungkapkan oleh seorang mantan veteran Belanda pada 1969, tetapi sejak saat itu pandangan resmi adalah bahwa meskipun "berlebihan" mungkin terjadi, pasukan Belanda secara keseluruhan berperilaku dengan benar.

“Kejahatan termasuk penahanan massal, penyiksaan, pembakaran kampong (perumahan), eksekusi dan pembunuhan warga sipil," kata Frank van Vree, seorang profesor sejarah perang di Universitas Amsterdam, selama presentasi online terkait penelitian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com