Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjanjian FIR Indonesia-Singapura Disebut Harus Diratifikasi Lewat UU, Ini Alasannya

Kompas.com - 18/02/2022, 14:36 WIB
Elza Astari Retaduari

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana meratifikasi perjanjian kerja sama soal Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura lewat Peraturan Presiden (Perpres). Namun ratifikasi perjanjian menyangkut kedaulatan negara disebut harus melalui undang-undang (UU).

Kerja sama FIR antara Indonesia dan Singapura ini terkait pengelolaan ruang udara di atas langit Kepulauan Riau (Kepri), Tanjungpinang, dan Natuna yang sejak Indonesia merdeka dalam penguasaan Singapura.

Lewat perjanjian itu, Pemerintah menyebut Indonesia telah mengambil alih penguasaan FIR dari Singapura. Hanya saja Indonesia masih memberikan delegasi pelayanan jasa penerbangan (PJP) di beberapa area kepada otoritas Singapura untuk penerbangan dengan ketinggian 0-37.000 kaki.

Kesepakatan soal FIR ini satu paket dengan dua perjanjian lain, yaitu perjanjian pertahanan atau Defense Cooperation Agreement (DCA) dan kerja sama ekstradisi buronan.

DCA mengatur pemberian izin untuk militer Singapura melakukan latihan militer di wilayah Indonesia, termasuk pesawat tempur. Sementara perjanjian ekstradisi membuat Indonesia bisa membawa pulang buronan yang lari ke Singapura beserta asetnya.

Baca juga: Polemik FIR Singapura, antara Isu Keselamatan dan Kedaulatan

Paket perjanjian ini menuai banyak kritik karena dinilai banyak merugikan Indonesia. Sebenarnya 3 perjanjian kerja sama ini juga sudah pernah dilakukan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) namun akhirnya tak jadi diratifikasi karena banyak mendapat penolakan.

Pemerintah pun kini berencana meratifikasi paket perjanjian tersebut dengan dua cara. Perjanjian FIR akan diratifikasi lewat Perpres, sementara dua perjanjian lainnya melalui UU yang berproses di DPR.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana mengatakan perjanjian FIR seharusnya juga diratifikasi lewat UU. Ia menjelaskan alasannya.

"FIR berkaitan dengan pengelolaan wilayah udara yang berada pada kedaulatan di mana keinginan Presiden dan rakyat adalah pengelolaan FIR yang selama ini didelegasikan ke Singapura diambil alih ke Indonesia," kata Hikmahanto dalam keterangannya, Jumat (18/2/2022).

Baca juga: Pakar Khawatir Pemerintah Jokowi Tinggalkan Legacy Buruk karena Paket Perjanjian dengan Singapura

Menurut Hikmahanto, hal tersebut merujuk pada Pasal 10 huruf (c) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

"Maka bila terkait dengan kedaulatan wajib disahkan dengan Undang-undang," sebutnya.

Adapun bunyi Pasal 10 UU Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut:

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Hikmahanto pun menilai perjanjian FIR antara Indonesia-Singapura berpotensi menabrak aturan yang ada. Bila perjanjian FIR disahkan, menurut dia, hal tersebut akan melanggar UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Sebab dalam amanat UU Penerbangan disebutkan bahwa Indonesia harus memegang sendiri pelayanan navigasi penerbangan dan mengambil alih jika masih ada dalam penguasaan negara lain.

"Pemerintah wajib transparan di mata rakyat mengingat bila disahkan memilki potensi berbenturan dengan Pasal 458 UU Penerbangan," ujar Hikmahanto.

Bunyi Pasal 458 UU Penerbangan adalah:

Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Memang perjanjian FIR dengan Singapura sebelumnya sempat disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Namun, kata Hikmahanto, itu dilakukan sebelum Indonesia memiliki UU Perjanjian Internasional.

"Dulu waktu FIR 1995 disahkan dengan Keppres namun ini mengingat belum ada UU Perjanjian Internasional sehingga pemerintah bebas menentukan apakah dengan Keppres atau UU," tutur Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) tersebut.

Oleh karena itu, Pemerintah diimbau untuk membahas perihal perjanjian FIR dengan DPR terlebih dahulu.

Baca juga: Mahfud Sebut FIR Indonesia-Singapura Diratifikasi Lewat Perpres, Bukan UU

Menurut Hikmahanto perlu ada pembahasan di DPR mengingat FIR berkaitan dengan urusan kedaulatan, yang harus mendapat persetujuan dari DPR sesuai UU Perjanjian Internasional.

"Perjanjian FIR perlu mendapat pembahasan oleh DPR di mana DPR tidak sekadar mengevaluasi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2)," ucap Hikmahanto.

Perjanjian internasional menurut konstitusi

Hal yang sama sebelumnya juga disampaikan oleh anggota Komisi I DPR, Sukamta. Ia menyatakan, perjanjian FIR antara Indonesia dan Singapura semestinya diratifikasi lewat UU, bukannya melalui Perpres sebagaimana rencana pemerintah.

"FIR merupakan kontrol wilayah udara yang wilayahnya ada dalam wilayah NKRI. Maka ini termasuk urusan strategis, terkait kedaulatan wilayah. Negara asing melakukan kontrol di atas wilayah negara kita itu cukup strategis, jika tidak dikatakan cukup berbahaya," kata Sukamta dalam siaran pers, Kamis (17/2/2022).

Sama seperti Hikmahanto, ia menyebut ketentuan itu sesuai amanat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Sukamta juga mengingatkan isi dari Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur soal perjanjian dengan negara lain harus melalui persetujuan DPR.

Baca juga: Chappy Hakim: Masalah Wilayah Udara Natuna Lebih Urgen daripada Beli Jet Tempur Baru

"Dari berbagai aspek ini sudah jelas perjanjian FIR harus dikonsultasikan dengan DPR untuk diatur dengan UU. Jika pemerintah menentukan sendiri bahwa ini diatur dengan perpres, tanpa konsultasi dan persetujuan DPR, itu sembrono namanya," ungkap politikus PKS tersebut.

Ketentuan mengenai perjanjian internasional juga diatur dalam Pasal 11 ayat (2), yang isinya sebagai berikut:

Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

"Jadi, kami berharap pemerintah menunda dulu keputusan pengaturan FIR lewat Perpres ini, mereka harus konsultasi dengan DPR untuk mendapat persetujuan lewat UU," tegas Sukamta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Seluruh Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Seluruh Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com