PADA dasarnya keseriusan Polri memberantas terorisme tentu patut didukung. Melawan terorisme sudah menjadi keharusan bagi seluruh individu dan lembaga.
Pun jika dikemas sebagai operasi intelijen, kita mau bilang apa? Selama tidak diketahui masyarakat, pemetaan masjid "tidak menjadi masalah".
Tidak ada yang dapat dipersoalkan karena toh operasi semacam itu berlangsung secara tertutup.
Menjadi masalah justru ketika program yang seharusnya rahasia itu justru diekspos ke publik. Geger jadinya.
Program pemetaan masjid yang dilakukan oleh Polri dan BPET MUI mengingatkan saya pada The NYPD Muslim Surveillance Program.
Program pemantauan oleh New York Police Department (NYPD) itu akhirnya digugat. NYPD diwajibkan membayar sekitar 80.000 dolar AS sebagai ganti rugi (settlement) kepada masjid dan masyarakat yang dirugikan oleh program tersebut.
Lazimnya, settlement merupakan ganti rugi atas police misconduct. Police misconduct dimaknai sebagai aksi pelanggaran hukum maupun etika atau pun pelanggaran terhadap hak konstitusional warga oleh otoritas kepolisian.
Jadi jelas, pemantauan khusus terhadap masjid--seperti yang NYPD lakukan--merupakan bentuk pelanggaran oleh institusi kepolisian.
Pada titik itulah terjadi kerawanan bahwa program pemetaan masjid disejajarkan khalayak luas dengan vigilantisme, yakni upaya mengatasi terorisme justru ironisnya dilakukan dengan cara yang juga bertentangan dengan hukum.
Paling sedikit ada lima problem yang potensial muncul dari program pemetaan masjid oleh Polri dan BPET MUI tersebut.
Pertama, dari segi jumlah. Tahun lalu saja terdapat sekitar 600.000 masjid yang terdaftar di Indonesia (Sistem Informasi Masjid, Maret 2021).
Dewan Masjid Indonesia bahkan mempunyai data lebih fantastis. Sampai tahun 2020, jumlah masjid di Indonesia mencapai 800.000-900.000 masjid.
Dari sisi kuantitas, pemetaan terhadap suatu objek yang tidak kasat mata (paham, ideologi, interpretasi agama, isme) di ratusan ribu masjid tentu sangat sulit dilakukan.
Apalagi jika jumlah masjid maupun mushala yang tidak terdaftar disertakan pula dalam hitung-hitungan.
Kedua, masalah metodologi. Dibutuhkan parameter sekaligus indikator yang akurat dan lengkap sebagai dasar klasifikasi terhadap masjid mana saja yang menjadi tempat berkecambahnya terorisme.