Tanpa parameter dan indikator yang kuat, sulit untuk menerima validitas pemetaan tersebut.
Demikian pula dari sisi reliabilitas: apakah sebuah masjid yang hari ini disimpulkan ekstrem akan terus dicap demikian?
Dengan kata lain, karena sifatnya yang dinamis, pemetaan masjid harus dilakukan secara berkala dari waktu ke waktu. Ini tentu menyedot sumber daya kepolisian yang besar.
Ketiga, kesetaraan rumah ibadah. Masyarakat akan menafsirkan pemetaan terhadap masjid bertitik tolak dari stigmatisasi berlanjut dengan perlakuan diskriminatif bahwa masjidlah satu-satunya rumah ibadah yang dianggap bermasalah.
Ini justru menandakan cara pandang yang bias sekaligus mengandung gross generalization terhadap rumah ibadah masyarakat tertentu.
Tafsiran tersebut akan bisa ditangkis hanya jika otoritas terkait juga melakukan pemetaan terhadap rumah-rumah ibadah lain.
Misal, rumah ibadah A dipantau karena merupakan sumber separatisme, rumah ibadah B dimonitor karena menjadi asal terbentuknya predator-predator seksual baru, dan sebagainya.
Dan, agar setara, operasi pemetaan semacam itu juga perlu "diworo-worokan" ke masyarakat. Apakah aksi seperti itu juga akan polisi lakukan?
Keempat, pemetaan masjid rentan menggangu keharmonisan relasi antarumat Islam (jamaah masjid). Antarwarga akan menaruh kecurigaan satu sama lain.
Para penceramah di masjid boleh jadi tidak akan lagi leluasa dalam mengedukasi masyarakat tentang masalah-masalah kenegaraan dari sudut pandang keagamaan.
Mereka khawatir bahwa pesan-pesan tentang perjuangan Nabi melawan penguasa lalim, yang nyata-nyata ada dalam kitab suci, pun akan secara semena-mena dicatat sebagai bentuk provokasi kepada masyarakat untuk kemudian dikelompokkan sebagai masjid bermasalah.
Anggota Kepolisian yang datang semata-mata untuk keperluan beribadah di masjid malah bisa dipandang warga sebagai orang yang seolah datang untuk tujuan berbeda, dan itu tidak baik bagi kedua pihak.
Kelima, ini sudah saya utarakan sejak bertahun-tahun silam. Penyebaran terorisme pada masa kini masif berlangung melalui internet dan media sosial.
Self-radicalization dan self-recruitment merupakan mekanisme bagi beranak pinaknya pelaku-pelaku teror baru.
Penyebaran sedemikian rupa bisa berlangsung di semua ruang dan waktu, karena internet dan media sosial ada di mana-mana.