Nurcholish Madjid saat itu sebenarnya adalah penyampai pidato pengganti Dr. Alfian yang berhalangan hadir.
Menurut Dawam Rahardjo (dalam pengantar penerbitan kembali buku Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, 2008), pidato Nurcholish tersebut sebetulnya tidak dipersiapkan sebagai sebuah proklamasi gerakan pembaruan, melainkan sebagai pemantik diskusi untuk kalangan internal umat Islam.
Jika tulisan di Mimbar Demokrasi tentang modernisasi sebagai rasionalisasi ditujukan ke luar kelompok Islam untuk menjawab keraguan Islam mendukung modernisasi, maka pidato tahun 1970 itu lebih sebagai introspeksi internal di tubuh umat Islam itu sendiri.
Ini yang menjelaskan mengapa dua tulisan itu terasa memiliki semangat yang berbeda.
Dalam pidato 1970, Nurcholish secara sengaja membongkar dan mengetengahkan faktor-faktor yang membuat Islam terlihat terbelakang dan cenderung mandeg.
Islam di masa itu, menurut Nurcholish, sudah kembali menjadi jumud dan kehilangan daya tonjok psikologis (psychological striking force) dalam perjuangannya.
Tapi kemudian, Nurcholish menjelaskan suatu dilema antara keharusan pembaruan Islam dan masalah disintegrasi yang kemungkinan menjadi konsekuensinya.
Nurcholish bertanya, “apakah akan memilih menempuh jalan pembaruan dalam dirinya, dengan merugikan integrasi yang selama ini didambakan, ataukah akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu, sekalipun dengan akibat keharusan ditoleransinya kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan-kekuatan moral yang ampuh?”
Nurcholish mengamati adanya perkembangan umat Islam yang terjadi tahun 1960-an di mana agama ini semakin luas diterima. Ada kegairahan religiositas di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.
Namun pada saat yang sama, kegairahan agama tersebut tidak dibarengi dengan semangat untuk melakukan formalisasi syariat Islam.
Publik Muslim Indonesia, kendati semakin Islami, tapi tidak begitu tertarik dengan partai-partai atau organisasi Islam.
Kondisi ini digambarnya dengan slogan “Islam, yes, partai Islam, no.”
Nurcholish menegaskan bahwa jika partai-partai Islam diniatkan sebagai wadah yang menampung gagasan-gagasan perjuangan Islam, maka gagasan itu sekarang tidak mendapat tempat di hati publik atau tidak menarik.
Nurcholish melancarkan kritik langsung atas tendensi umat Islam yang lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas.
Nurcholish ingin mendorong agar semangat untuk mencapai kuantitas dan persatuan umat harus disertai dengan semangat pembaruan agar terwujud suatu masyarakat Muslim yang dinamis.
Untuk itu, diperlukan pemikiran-pemikiran yang dinamis pula.
Mengutip Lenin, Nurcholish menegaskan bahwa tidak ada tindakan-tindakan revolusioner tanpa teori-teori revolusioner.
Untuk mencapai umat yang besar dan dinamis itu, maka dibutuhkan suatu gebrakan pembaruan pemikiran Islam.
Nurcholish mengusulkan pembaruan ini dimulai dari perlawanan pada tradisionalisme dan mencari nilai-nilai progresif yang berorientasi pada masa depan.