Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Yatim Piatu Keteladanan

Kompas.com - 02/02/2022, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Merdeka dari berbagai ajakan dan peluang kampus partisan. Memastikan kemerdekaan kampus untuk memproduksi gagasan berdasarkan basis keilmuan yang jujur dan otentik.

Memberikan kesejahteraan bagi pengajar kampus secara optimal sehingga fokus melakukan Tri Dharma.

Jangan sampai, ada dosen yang kesukaran menyekolahkan anaknya, misalnya. Atau dosen kebingungan publikasi ilmiah terindex scopus karena keterbatasan dukungan pendanaan.

Andai itu terjadi, maka kata Merdeka masih jauh dari realita.

Bagi saya, kampus harus diproteksi dari pengaruh buruk yang mengegoti idealisme. Sebab, kampus adalah kawah masa depan.

Masa depan Indonesia yang hendak menanamkan demokrasi, antikorupsi dan supremasi hukum, hanya bisa dilakukan jika para insan kampus pemilik masa depan merawat komitmennya untuk tidak tergoda untuk hal-hal buruk menjauhi kemuliaan idealisme bangsa.

Ini terbuka peluangnya jika kita semua mau mengabdikan dan mewakafkan diri kita pada hal-hal kepublikan yang baik.

Potensi itu ada sebab kemajuan teknologi mampu dengan kekuatan viralnya media sosial, menjadi mata dan telinga publik agar layanan publik—misalnya—berkualitas.

Hal ini sudah mulai terasa gerakan menuju lebih baik di berbagai institusi layanan publik. Tinggal bagaimana ini menjadi gerakan kesadaran kolektif. Bukan gerakan perorangan belaka.

Ruang nurani

Imajinasi pendiri bangsa ini ketika mewakafkan dirinya untuk kepentingan publik adalah akan lahirnya suatu generasi yang memiliki kecerdasan tidak sekadar intelektual, namun emosional dan spiritual.

Maka, diksi Pembukaan UUD 1945 menggunakan istilah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bukan kata “pintar”.

Sebab, pintar kerap sinonim dengan intelektual semata. Padahal fakta hari ini menunjukan, kita tidak kekurangan orang pintar? Namun kita kekurangan orang berintegritas.

Karena itu, indeks korupsi bisa dibaca sebagai indeks integritas dalam arti sebaliknya.

Problemnya, perlu banyak sisi dibenahi. Namun, itu bisa dimulai dengan tradisi percakapan di ruang publik yang bebas tekanan. Yang tidak terjebak sopan santun subyektif.

Namun mendialogkan esensi dengan basis argumentasi yang jernih. Ini tidak mudah. Tapi juga tidak mustahil.

Yang pasti, harus selalu dirawat bersama, ruang publik dipenuhi aneka gagasan dan tukar tambah argumentasi rasional serta menangkal caci maki, hoax dan praktik politik identitas.

Jika itu saja dilakukan dengan berkelanjutan, bisa menjadi bagian dari upaya agar banyak sosok dan figur negarawan bermunculan sehingga tidak lagi mengalami yatim piatu keteladanan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com