Merdeka dari berbagai ajakan dan peluang kampus partisan. Memastikan kemerdekaan kampus untuk memproduksi gagasan berdasarkan basis keilmuan yang jujur dan otentik.
Memberikan kesejahteraan bagi pengajar kampus secara optimal sehingga fokus melakukan Tri Dharma.
Jangan sampai, ada dosen yang kesukaran menyekolahkan anaknya, misalnya. Atau dosen kebingungan publikasi ilmiah terindex scopus karena keterbatasan dukungan pendanaan.
Andai itu terjadi, maka kata Merdeka masih jauh dari realita.
Bagi saya, kampus harus diproteksi dari pengaruh buruk yang mengegoti idealisme. Sebab, kampus adalah kawah masa depan.
Masa depan Indonesia yang hendak menanamkan demokrasi, antikorupsi dan supremasi hukum, hanya bisa dilakukan jika para insan kampus pemilik masa depan merawat komitmennya untuk tidak tergoda untuk hal-hal buruk menjauhi kemuliaan idealisme bangsa.
Ini terbuka peluangnya jika kita semua mau mengabdikan dan mewakafkan diri kita pada hal-hal kepublikan yang baik.
Potensi itu ada sebab kemajuan teknologi mampu dengan kekuatan viralnya media sosial, menjadi mata dan telinga publik agar layanan publik—misalnya—berkualitas.
Hal ini sudah mulai terasa gerakan menuju lebih baik di berbagai institusi layanan publik. Tinggal bagaimana ini menjadi gerakan kesadaran kolektif. Bukan gerakan perorangan belaka.
Imajinasi pendiri bangsa ini ketika mewakafkan dirinya untuk kepentingan publik adalah akan lahirnya suatu generasi yang memiliki kecerdasan tidak sekadar intelektual, namun emosional dan spiritual.
Maka, diksi Pembukaan UUD 1945 menggunakan istilah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bukan kata “pintar”.
Sebab, pintar kerap sinonim dengan intelektual semata. Padahal fakta hari ini menunjukan, kita tidak kekurangan orang pintar? Namun kita kekurangan orang berintegritas.
Karena itu, indeks korupsi bisa dibaca sebagai indeks integritas dalam arti sebaliknya.
Problemnya, perlu banyak sisi dibenahi. Namun, itu bisa dimulai dengan tradisi percakapan di ruang publik yang bebas tekanan. Yang tidak terjebak sopan santun subyektif.
Namun mendialogkan esensi dengan basis argumentasi yang jernih. Ini tidak mudah. Tapi juga tidak mustahil.
Yang pasti, harus selalu dirawat bersama, ruang publik dipenuhi aneka gagasan dan tukar tambah argumentasi rasional serta menangkal caci maki, hoax dan praktik politik identitas.
Jika itu saja dilakukan dengan berkelanjutan, bisa menjadi bagian dari upaya agar banyak sosok dan figur negarawan bermunculan sehingga tidak lagi mengalami yatim piatu keteladanan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.