Demokrasi, dengan beragam definisi dan konsep, sebenarnya berangkat dari nilai. Kebebasan. Kesetaraan. Menghargai perbedaan. Semua itu merupakan ruh dari demokrasi.
Jika energi habis di wilayah sistem tanpa nilai, maka bisa jadi negara terperosok pada jurang positivistik. Sekadar memenuhi kaidah dan pasal-pasal.
Padahal itupun kerap hasil transaksional di parlemen yang tidak jarang jauh dari daulat publik.
Krisis nilai berdampak panjang. Di jalan tidak ada kesantunan. Budaya mengantre seperti basa basi.
Menjamur politik kekerabatan miskin kompetensi, pelanggaran hukum, kecongkakan karena jabatan dan segala lips service namun secara brutal merusak nilai tidak pernah mendapat perhatian optimal.
Kompetensi dan integritas menjadi bumbu pidato. Namun sukar ditemukan di alam nyata.
Bagi saya, pendidikan nilai yang meresap di publik adalah keteladanan. Jika kita mengatakan jangan korupsi. Maka, diberikan contoh kekayaannya transparan untuk diaudit khususnya bila ia penyelenggara jabatan publik.
Jika kita menghormati supremasi hukum, maka kiranya bijak meneladani ungkapan Nabi Muhammad SAW, andai Fatimah anaknya mencuri, beliau sendiri yang akan memotong tangannya sebagai bentuk supremasi hukum. Bukan karena sanak famili malah mendapat previlege.
Harapan banyak sebenarnya ke kampus. Karena dari mulai masa pergerakan sampai reformasi, kampus menjadi hati nurani publik.
Namun kampus pun ternyata bukan jaminan pula. Yatim piatu keteladanan terjadi pula di kampus.
Kasus pelecehan seksual terjadi. Sikat sikut jabatan kerap terdengar di kampus. Penentuan kebijakan berbasis kedekatan bukan mustahil terjadi.
Jabatan langka dianggap amanah. Namun kesempatan mengkapitalisasi diri.
Belum lagi sempat ramai soal rangkap jabatan rektor dengan komisaris perusahaan diduga dapat menggerus basis kritisisme kampus sebagai pengawal nalar publik.
Betapa prihatin bila ada kampus—selevel UI, misalnya—sampai berkembang kekhawatiran perubahan statuta UI pun dikaitkan dengan agenda politik 2024.
Pertanyaannya, bisakah kampus dijadikan agen dan kompas politik moral bangsa? Bukan politik transaksional?
Apakah pemilihan rektor, dekan dan semua jabatan di kampus bisa dijamin tidak terdistorsi kepentingan di luar keilmuan?
Berita-berita suram di atas tentu menyedihkan. Perlu revolusi mental sampai ke akar---bukan slogan---dengan memberikan wadah bagi kompetensi dan integritas mendapatkan afirmative action dalam pengisian jabatan dan aktivitas kampus.
Maka, komitmen Mendikbud soal Kampus Merdeka perlu dimaknai pula Merdeka dari pengaruh yang dapat merusak independensi kampus.