JAKARTA, KOMPAS.com - Kabar meninggalnya Presiden kedua RI Soeharto pada 27 Januari 2008 pertama kali datang bukan dari keluarga, dokter, bukan pula dari petinggi negeri.
Warta itu kali pertama disiarkan oleh Kepala Polsek Kebayoran Baru berpangkat komisaris polisi bernama Dicky Sondani.
Sebagai Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ketika itu, Dicky menjadi penanggung jawab keamanan di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), tempat Pak Harto dirawat.
Baca juga: Perjalanan Rahasia Soeharto: Menginap Rumah Warga hingga Bekal Beras dan Tempe
Sabtu, 26 Januari 2008 malam, sehari sebelum Soeharto meninggal, Dicky pulang ke kantornya di Mapolsek Kebayoran Baru.
Ia hendak beristirahat setelah seharian berada di RSPP yang hanya berjarak satu kilometer.
Saat itu, Dicky merasa sedikit lelah lantaran dua pekan lamanya tidak pulang ke rumah. Ia harus siaga di RSPP dan tetap mengawasi wilayah hukumnya.
Namun, malam minggu itu, Dicky bisa sedikit bernapas lega. Sebab, ia baru bertemu dengan dokter Pak Harto yang menyatakan kondisi Presiden kedua RI itu membaik.
"Dia bilang kondisi Pak Harto meningkat dan semakin baik. Bahkan, dia memperkirakan hari Selasa itu sudah bisa duduk bagus," tutur Dicky saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (26/1/2016) malam.
"Dokternya bercanda sama saya, besoknya kan hari Minggu, kalau begitu kita bisa istirahat, bisa kumpul-kumpul bersama keluarga, ya bisa memaksimalkan hari Minggu-lah," lanjut dia.
Baca juga: Kisah Cinta Soeharto-Ibu Tien, Perjodohan, dan Kesedihan di TMII
Meski dokter berkata demikian, Dicky memutuskan untuk tetap tidak pulang ke rumah dan memilih tidur di kantornya.
Keesokan paginya, Minggu, 27 Januari 2008, istri Dicky menghampiri ke Mapolsek. Dia hendak mengajak Dicky untuk pergi ke pesta pernikahan saudaranya.
Merasa pengamanan di RSPP sudah mulai longgar, Dicky mengiyakan ajakan istrinya. Ia mengganti baju polisi dengan kemeja batik berlengan panjang.
Namun, tak lama, salah seorang dokter kepresidenan menghubunginya via ponsel. Dokter itu memberi tahu bahwa kondisi Pak Harto kembali memburuk.
"Wah, baju batik saya buka lagi. Saya minta maaf ke istri kalau saya enggak bisa ikut ke kondangan," kenang Dicky.
"Untungnya, istri saya memahami dan tidak menuntut banyak. Saya langsung meluncur lagi ke RSPP," tuturnya.
Baca juga: Soeharto dan Falsafah Mahabarata di Patung Arjuna Wijaya Jakarta Pusat
Sekitar pukul 10.00 WIB, Dicky tiba di RSPP. Dokter kembali mengatakan bahwa kondisi Pak Harto semakin menurun.
Bahkan, dokter menyebut wafatnya Pak Harto tinggal menunggu waktu.
"Saya ingat sekali saya lima kali bolak-balik, keluar masuk rumah sakit. Nah, pas masuk ke rumah sakit yang terakhir, dokter menyatakan bahwa Pak Harto sudah meninggal dunia," kata dia.
Mengetahui kabar meninggalnya Soeharto, Dicky keluar dari rumah sakit lagi untuk mempersiapkan personel pengamanan tambahan. Dia juga berkoordinasi dengan TNI yang turut mengirimkan pasukan.
Saat itu, dia adalah perwira polisi tertinggi yang ada di RSPP.
Rupanya, gerak-gerik Dicky terpantau puluhan awak media yang menunggu di rumah sakit.
Dicky merasa para wartawan curiga melihat dirinya yang sibuk berkoordinasi melalui handy talkie untuk menambah personel.
"Mungkin ada sekitar 100 wartawan tiba-tiba mengerubuti saya, bertanya, ada apa, Pak? Kok ada personel tambahan segala," kata Dicky.
Baca juga: Firasat Harmoko, Tuntutan Reformasi, hingga Mundurnya Soeharto
Dicky pun mengaku tak bisa berbohong. Di situlah dia menyampaikan bahwa Pak Harto telah tiada.
"Ya, saya jujur saja. Saya bilang, Pak Harto meninggal dunia pukul 13.10 WIB. Saya tidak bisa membohongi publik saat itu. Karena memang saya tahu dari dokternya langsung," tuturnya.
Dicky merasa semua terjadi begitu cepat. Kabar duka mantan presiden yang telah berkuasa selama 32 tahun itu bukan datang dari keluarga atau petinggi negeri, melainkan dari mulut seorang Kapolsek Kebayoran Baru berpangkat kompol.
Meski begitu, pernyataan Dicky tidak berimbas pada teguran dari keluarga Soeharto atau atasannya. Tetapi, ia juga tak mendapat apreaiasi.
Karier dan kehidupan Dicky selanjutnya berjalan apa adanya.
Setelah 14 tahun peristiwa itu berlalu, Dicky masih menjalani kehidupannya sebagai perwira polisi. Namun, ia tidak lagi bertugas di Jakarta.
Dicky sempat dipindahkan ke Aceh, Banten, Kepulauan Riau, hingga Sulawesi Selatan. Saat ini, dengan pangkat komisaris besar (kombes), Dicky menjadi Direktur Lalu Lintas Polda Aceh.
Meski peristiwa meninggalnya Pak Harto telah lama terjadi, detik-detik itu tidak bisa hilang dari ingatan Dicky.
Baca juga: Profil Harmoko, dari Wartawan Penggagas Pos Kota hingga Menteri Penerangan Era Soeharto
Ia merefleksikan pengalaman tersebut sebagai bagian dari jalan hidup yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Jujur, momen itu sungguh di luar naluri saya sebagai perwira Polri. Harusnya yang menyampaikan itu ya tingkat yang lebih tinggi. Minimal jenderallah," kata Dicky.
"Kalau di sana ada Dandim, Pangdam, atau Panglima TNI, harusnya mereka yang mengumumkan. Tetapi, situasi saat itu ya mengharuskan saya begitu," lanjutnya.
Dicky mengaku, kala itu dirinya tak percaya menjadi orang pertama yang mengumumkan kepergian Pak Harto.
Baca juga: Keheningan di Cendana Jelang Lengsernya Soeharto...
"Setelah mengumumkan pertama kali Pak Harto ke wartawan, saya sempat enggak percaya. Apa enggak salah ini saya ngomong begini? Tetapi, sekarang saya menganggap bahwa sepertinya saat itu memang sudah diatur Tuhan Yang Maha Esa," kata Dicky.
"Momen itu saya anggap menjadi bagian perjalanan hidup saya sebagai perwira polisi," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.