JAKARTA, KOMPAS.com - Tsunami di Aceh telah 17 tahun berlalu. Gempa bumi yang disusul tsunami itu terjadi pada 26 Desember 2004.
Dikutip dari SerambiNews.com, ketika itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan bencana gempa dan tsunami Aceh sebagai bencana nasional. Karena itu, pesawat asing pun bebas memasuki wilayah udara Aceh.
TNI pun mengeluarkan Notice to Airman (Notam) yang mengisyaratkan ruang udara Aceh terbuka bagi pesawat-pesawat asing dan masyarakat internasional.
Mereka dapat langsung terbang dari negaranya menuju Aceh dalam misi kemanusiaan, tanpa harus memenuhi syarat keimigrasian normal.
Baca juga: Kesal Birokrasi Lambat Atasi Tsunami Aceh, Jusuf Kalla: Ambil Pistol, Tembak Gemboknya!
Kurang dari 24 jam setelah Notam terbit, pesawat terbang asing dari berbagai negara mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Aceh melalui Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar.
Menurut "Buku Tsunami dan Kisah Mereka" yang diterbitkan Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, awak radar Bandara Sultan Iskandar Muda mencatat hampir 150 pergerakan per hari, termasuk beberapa helikopter dari Angkatan Laut AS yang berpangkalan di kapal induk USS Abraham Lincoln.
Kapal induk kelima kelas Nimitz di Angkatan Laut AS ini termasuk penyuplai bantuan pertama kepada para korban tsunami di Aceh.
Mereka mengirimkan belasan pesawat terbang untuk mengirim bantuan yang tidak bisa dijangkau melalui jalan darat.
Baca juga: Peringati 17 Tahun Tsunami Aceh, Ridwan Kamil Ziarah ke Kuburan Massal Korban
Kehadiran mereka sangat membantu meringankan penderitaan korban terdampak bencana. Kehadiran personel militer itu benar-benar menyejukkan suasana, jauh dari kesan angker.
Mereka berbaur dengan relawan lainnya di lokasi terdampak bencana tsunami.
Hal serupa juga dilakukan relawan militer dari negara lain, seperti Jepang, Singapura, Malaysia, Spanyol, Australia, Jerman, dan Inggris.
Beragam peralatan medis dan obat-obatan, makanan, minuman, pakaian, selimut, dan kebutuhan lain dibagikan kepada mereka yang selamat dari amukan tsunami. Bantuan dari dalam negeri pun terus berdatangan.
Banyak pesawat domestik juga menggunakan ruang udara Aceh untuk menjalankan misi kemanusiaan.
Baca juga: 7 Fakta Tsunami Aceh 26 Desember 2004: Gempa Setara Bom 100 Gigaton
Para relawan penerbangan swasta turut aktif membantu melakukan evakuasi dan membuka isolasi di Aceh meski mengandalkan pesawat berkemampuan angkut terbatas.
Minggu pertama pasca tsunami, misalnya, dua maskapai yakni Transwisata Air dan Susi Air, mengerahkan armada pesawat mereka untuk membawa logistik dan mengevakuasi pengungsi terluka.
Dengan Fokker 28 Mk 50, Transwisata Air berhasil menembus isolasi Pulau Nias dan meneruskan misi Medan-Banda Aceh setiap hari dengan beberapa kali penerbangan.
Sementara itu, Susi Air dengan pesawat jenis Cessna Caravan menembus isolasi Meulaboh dengan mendarat di landasan udara Asikin yang rusak parah.
Ritme kerja para relawan air lift sangat melelahkan, tanpa kepastian waktu lepas landas atau pendaratan.
Baca juga: Lantunan Zikir, Mengenang Mereka yang Pergi Saat Tsunami …
Sepanjang hari mereka mengangkut obat-obatan, pasokan logistik, dan para relawan yang ke Aceh; pulangnya mengangkut pengungsi terluka, para warga lanjut usia, dan anak-anak.
Kini, setelah 17 tahun, tsunami Aceh masih menjadi pembahasan sekaligus menjadi pengingat. Bencana alam ini menelan korban jiwa ratusan ribu orang.
Lebih dari 600 ribu orang harus mengungsi. Tercatat sekitar 139 ribu rumah rusak akibat bencana tersebut, 2.600 Km jalan rusak, dan 669 bangunan pemerintah dilaporkan rusak.
Total nilai kerugian ditaksir menyentuh angka US$4,5 miliar kala itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.