Hal ini setidaknya disebabkan oleh empat hal, mulai dari tata kelola partai politik yang belum demokratis, regulasi, penegakan hukum lemah, hingga kesadaran masyarakat yang rendah.
Terkait tata kelola internal partai yang belum demokratis, Titi menilai, pengambilan keputusan di parpol ditentukan oleh segelintir orang saja.
Rekrutmen calon kepala daerah masih didominasi pimpinan partai. Sedangkan pengurus dan anggota tidak punya akses memadai pada pengambilan keputusan yang dilakukan partai.
Baca juga: Pasal Presidential Threshold: Berkali-kali Digugat, Berulang Kali Ditolak MK
"Sekarang apakah anggota partai tahu mengapa si A, B, C, D yang dicalonkan partai? Tidak ada akuntabilitas yang bisa diakses oleh pengurus dan anggota partai terkait proses nominasi di internal partai," kata Titi, Juli 2020.
Terkait regulasi, Titi menyinggung soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, juga kepala daerah.
Diketahui, untuk dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Kemudian, untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, partai politik setidaknya harus memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara sah dari Pemilu DPRD sebelumnya.
Hal lain yang juga berkaitan dengan regulasi ialah berat dan mahalnya persyaratan pencalonan kepala daerah jalur independen atau perseorangan.
Ketiga, penegakan hukum dinilai masih lemah. Titi mengatakan, kerangka hukum Pemilu dan Pilkada didesain tidak mampu menangkap realitas keadilan pemilu dengan baik.
Sebab, politik uang dan praktik mahar politik didesain sulit untuk diusut penegakan hukum, khususnya pada aktor intelektual atau pelaku utama.
"Kelembagaan penegakan hukum dianggap tidak memberi efek jera. Padahal sudah sangat banyak pihak terlibat, ada Bawaslu, polisi, jaksa, pengadilan," ujar Titi.
Keempat, kesadaran masyarakat terhadap Pemilu dan Pilkada dinilai masih rendah dan cenderung permisif.
Pendidikan politik yang menjadi hak rakyat yang harusnya diperoleh melalui partai tidak berjalan atau tidak tersedia.
Jika hal demikian masih terjadi, diyakini sistem oligarki masih akan terus tumbuh subur di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.