Jika menilik usaha menengah, besarnya cuma 0,009 persen dengan jumlah pelaku usaha mencapai 60.702 (Kompas.com, 13 Desember 2021).
Dengan tegas Anwar Abbas menyebut kesenjangan ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi.
Kesenjangan yang terjadi di masyarakat akan sangat berbahaya dan berpotensi mengganggu stabilitas dan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Bila hal ini terus berlangsung, maka akan menciptakan sesuatu yang tidak baik. Kesenjangan sosial akan semakin tajam dari tahun ke tahun.
Mendengar kritik tajam yang disampaikan dalam forum resmi, berbeda dengan Nasruddin Hoja yang selalu menurut kritik dari orang-orang lain, Jokowi mengambil langkah “ofensif”.
Tantangan terbuka dilayani dengan sikap gentleman. Sepertinya Jokowi berprinsip; “lu jual, gua beli”.
Seakan melupakan teks pidato yang telah disiapkan, Jokowi tidak membantah pernyataan Anwar Abbas terkait kesenjangan yang dicemaskan.
Jokowi cuma menyebut, bukan dirinya yang membagi atau mengkapling-kapling lahan untuk kelompok-kelompok tertentu.
Beragam pengamat komunikasi politik, di antaranya yang meneliti dari aspek gestur jelas Jokowi memperlihatkan “kemarahan” sekaligus “ketidaksenangan” terhadap kritik yang disampaikan dengan terbuka.
Berbeda dengan pola-pola komunikasi presiden-presiden sebelumnya, terutama Soeharto atau Soesilo Bambang Yudhoyono yang terkesan menghindar, bahkan “lari”, justru Jokowi memperlihatkan pola komunikasi yang berbeda. Jokowi langsung reaktif.
Sikap ofensif ini jelas dipilih oleh pihak yang menyangkal kritik karena memiliki dasar pijakan yang bisa digunakan untuk mematahkan kritik tersebut.
Aksi bagi-bagi lahan, bukankah sudah lama dilakukan di era Soeharto dan diberikan kepada kroni-kroninya?
Jika Anwar Abbas mau “piknik” sejenak saja, tidak usah jauh-jauh dari Jakarta, tepatnya di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, betapa luasnya tanah telah dikuasai oleh kerabat dan kroni Cendana.
Saya pernah ditunjukkan lahan yang dikuasai salah satu kerabat Soeharto. Sejak saya tertidur hingga terbangun lagi di dalam kendaraan, tanah yang saya lewati adalah di bawah penguasaan salah satu anak Soeharto.
Fenomena seperti ini baru ditemui di Tulang Bawang. Belum lagi jika kita mau “piknik” ke daerah-daerah lain di tanah air yang lebih jauh seperti Bangka Belitung, belahan Pulau Sumatera yang lain, Kalimantan, Sulawesi bahkan Papua.
Penguasaan pulau-pulau di Kepulauan Seribu, DKI saja mirip “etalase” kemewahan dari kepemilikan “horang-horang” yang “tajir melintir”.
Menurut Jokowi, pemerintahan di eranya tengah melakukan redistribusi lahan melalui program reforma agraria.
Redistribusi lahan tersebut sudah mencapai 4,3 juta hektare dari total target 12 juta hektare lahan.
Karena Indonesia sudah memiliki bank tanah, maka pemerintah sangat memperhatikan hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) atas tanah yang diterlantarkan.
Tanah-tanah yang diterlantarkan akan dicabut izin HGU dan HGB-nya. Selanjutnya akan diberikan izin konsensi atas tanah yang ada.
Kesulitan yang dialami pemerintah adalah, ada tanah-tanah yang lebih dari 20 atau 30 tahun diterlantarkan tanpa diproses statusnya sehingga pemerintah sekarang kesulitan untuk memberikannya kepada pihak-pihak lain.
Bahkan dengan gaya khasnya yang “nyelekit”, Jokowi mempersilahkan jika MUI memerlukan lahan dalam jumlah yang sangat besar harap menyampaikan secara langsung kepada presiden.
Jokowi melakukan repetisi atas pernyataannya: “Saya akan carikan. Saya akan siapkan”.
Tidak sekedar “nyelekit”, tohokan ala petinju bergaya fighter terus dilancarkan Jokowi.