JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengapresiasi penerbitan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Hetifah pun menyayangkan polemik yang timbul karena perbedaan persepsi. Ia mendorong Kemendikbud Ristek untuk menyosialisasikan permendikbud dengan lebih baik untuk mencegah multitafsir.
"Padahal kita sedang berbenah agar kampus menjadi tempat yang aman dan kondusif. Jangan sampai kekisruhan menjadikan upaya ini mengalami kemunduran dan bahkan terhambat," kata Hetifah, dalam keterangan tertulis, Kamis (11/11/2021).
Baca juga: Ramai-ramai Mendukung Penghapusan Kekerasan Seksual di Kampus
Politisi Partai Golkar itu mengingatkan, jangan sampai niat baik untuk menghapus kekerasan seksual di lembaga pendidikan terhambat karena adanya penafsiran berbeda.
Ia menggarisbawahi pentingnya dukungan semua pihak agar kekerasan seksual di lembaga pendidikan dapat diberantas.
Hetifah menuturkan, tindakan kekerasan seksual di kampus kerap terjadi dengan memanfaatkan ketimpangan relasi kuasa yang ada, misalnya antara dosen dan mahasiswa.
"Dalam institusi pendidikan tentunya ada ketimpangan hierarki yang sangat rentan disalahgunakan oleh mereka yang memiliki kuasa," ujar dia.
Baca juga: Urgensi Mekanisme Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Hetifah menambahkan, pengaturan terhadap tindak asusila dalam tata tertib kampus perlu ditegakkan dengan tegas.
Namun, di samping itu, perlu ada jaminan bahwa korban kekerasan seksual yang mengalami pemaksaan tidak akan turut dihukum sebagai pelaku tindakan asusila.
"Formulasi 'tanpa persetujuan korban' itu kan sebetulnya bertujuan untuk menjamin bahwa korban tidak akan turut mengalami sanksi dari kampus setelah mengalami pemaksaan oleh pelaku kekerasan seksual, sehingga korban pun merasa aman dan bebas untuk mengadukan kasusnya," kata dia.
Diketahui, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 telah diterbitkan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021.
Kendati mendapat apresiasi, permendikbud ristek ini juga dikritik karena dinilai cacat formil dan materil.
Salah satu kecacatan materil, menurutnya, terletak dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat consent dalam bentuk frasa ”tanpa persetujuan korban”.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).
Baca juga: Puluhan Akademisi Dukung Permendikbud soal Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Secara terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud Ristek, Nizam mengatakan, kekerasan seksual adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan, namun tidak memiliki payung hukum yang jelas.
“Selama ini tidak ada payung hukum bagi pencegahan dan penindakan atas kejahatan atau kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus kita,” kata Nizam kepada Kompas.com, Rabu (10/11/2021).
Nizam mengatakan, permendikbud ristek ini sama sekali tidak melegalkan seks bebas. Ia menjelaskan, consent dalam isi beleid tersebut merujuk pada konteks adanya unsur pemaksaan terkait suatu tindak kekerasan.
“Dalam KBBI kekerasan adalah sesuatu yang dipaksakan, ada unsur pemaksaan. Jadi kata consent tersebut dalam konteks unsur pemaksaan tadi. Sama sekali tidak ada dalam pikiran kami untuk melegalkan perzinaan,” tegasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.