Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Berharap Sherlock Holmes Mengungkap Kasus-kasus yang Tak Terpecahkan Polisi Indonesia

Kompas.com - 31/10/2021, 20:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Oleh: Ari Junaedi*

HINGGA hari ke- 74 (tanggal 31 Oktober 2021) sejak kasus pembunuhan Tuti Suhartini dan Amalia Mustika Ratu, ibu dan anak di Subang, Jawa Barat diketahui terjadi di tanggal 18 Agustus 2021, sampai saat ini tabir siapa pelaku pembunuhan keji tersebut masih “gelap”.

Mayat ibu dan anak itu diketahui pertama kali oleh suami korban yang bernama Yosef bertumpuk di dalam mobil Alphard di kediaman korban di Dusun Ciseuti, Desa Jalan Cagak, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang.

Hampir 50 orang saksi telah diperiksa petugas gabungan dari Polres Subang, Polda Jawa Barat hingga Bareskrim Mabes Polri. Namun, hingga sekarang kasus ini masih diselimuti misteri. Belum ada penetapan tersangka hingga saat ini semakin menunjukkan polisi kesulitan mengurai kasus tersebut.

Baca juga: Hari Ke-65 Misteri Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang, Yosef Diperiksa untuk Ke-14 Kalinya

Dukungan peralatan canggih dari tim forensik dan inafis juga pengalaman telisik dari para penyidik yang memiliki scientific crime investigation ternyata belum mampu menjadikan kasus yang membetot perhatian publik ini terang benderang.

“Utang” pengungkapan kasus kriminal berat tidak saja untuk kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang, Polri pun masih ditagih untuk kasus-kasus kriminal yang hingga sekarang masih meninggalkan tanda tanya.

Pembunuhan mahasiswa UI Akseyna

Enam tahun lalu, tepatnya tanggal 26 Maret 2015, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Akseyna Ahad Dori yang berusia 19 tahun ditemukan tewas di Danau Kenanga, Kampus UI Depok, Jawa Barat.

Awalnya sempat diduga bunuh diri, mahasiswa jurusan Biologi Fakultas MIPA UI tersebut kemudian ditetapkan oleh pihak kepolisian sebagai korban pembunuhan.

Baca juga: Teka-teki Kematian Akseyna, Mengapa Polisi Belum Juga Bisa Tangkap Sang Pembunuh?

Pada Kamis (26/3/2015) sekitar pukul 09.00 WIB, seorang mahasiswa UI bernama Roni membuat geger karena melihat jasad mengambang di Danau Kenanga. Saat ditemukan, jenazah itu mengenakan ransel yang diisi sejumlah batu.

Korban diduga tenggelam karena beratnya batu-batu tersebut. Penemuan mayat tanpa identitas itu sontak membuat banyak orang berkumpul di tempat kejadian perkara.

Butuh empat hari bagi pihak kepolisian untuk akhirnya bisa mengidentifikasi jasad yang sudah rusak tersebut sebagai Akseyna. Hal itu terungkap setelah orang tua Akseyna yang berdinas di TNI AU di Yogyakarta Kolonel (Sus) Mardoto datang ke Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur, untuk mengidentifikasi jenazah pada Senin (30/3/2015).

Kasat Reskrim Polresta Depok ketika itu Kompol Agus Salim mengatakan, orangtua korban dapat mengenali sosok Akseyna berdasarkan bentuk hidung. Selain itu, pakaian dan sepatu pemberian orang tua yang dikenakan almarhum memperkuat keyakinan pihak keluarga Akseyna (Kompas.com, 26/03/2021).

Baca juga: 6 Tahun Kematian Akseyna Masih Gelap, UI: Kasus Telah Diserahkan ke Kepolisian

Polisi mengakui sudah banyaknya orang yang masuk ke tempat kejadian perkara sehingga merusak barang-barang bukti yang ada, membuat polisi kesulitan mengungkap kasus ini.

Sudah enam tahun berlalu, kematian Akseyna hingga kini masih menjadi misteri. Mulai dari Kapolda Metro Jaya dijabat Unggung Cahyono, Tito Karnavian, Moechgiyarto, M Iriawan, Idham Azis, Gatot Eddy Pramono, Nana Sujana, hingga Muhammad Fadil Imram, hingga kini pengusutan kasus pembunuhan tersebut belum juga terungkap.

Siapa yang menghabisi nyawa mahasiswa itu?

Baca juga: Kasus Akseyna Dibiarkan Mangkrak 6 Tahun, Polisi Dinilai Sudah Kehilangan Momentum

Setiap kejahatan meninggalkan jejak

Karena pernah mengikuti perkuliahan Kimia Forensik di Fakultas MIPA UI dan Hukum Forensik di Fakultas Hukum UI di era 1987-an yang diasuh oleh mendiang Handoko Tjondroputranto, hingga sekarang saya masih begitu ingat materi perkuliahannya.

“Tidak ada kejahatan yang sempurna karena setiap kasus kejahatan selalu meninggalkan jejak,” demikian pernyataan pengajar forensik Fakultas Kedokteran UI yang kerap terngiang.

Sebagai pengajar yang berlatar belakanng sarjana kedokteran sekaligus sarjana hukum, Handoko begitu fasih berkisah soal pengalamannya ikut terlibat sebagai tim forensik untuk mengungkap kematian peragawati Ditje Budiarsih.

 

Pembunuhan peragawati Ditje Budiarsih

Kasus Ditje hingga sekarang juga menjadi “tabir” gelap karena memang sengaja tidak diungkap oleh pihak kepolisian di era Orde Baru.

Ditje ditemukan meninggal dengan luka tembak di kepala di dalam mobil yang terparkir di kawasan hutan pohon karet di Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta Selatan tanggal 8 September 1986.

Tidak lama, polisi menetapkan Muhammad Siradjudin alias Pak De sebagai pelaku tunggal pembunuhan. Sebagai mantan tentara, Pak De dianggap terlibat kasus penggandaan uang dengan mendiang Ditje.

Dalam persidangan, Pak De selalu membantah keterlibatannya dalam pembunuhan Ditje. Cerita dari dosen saya, Handoko Tjondroputranto, ada kejanggalan posisi penembakan di kepala Ditje.

Arah balistik penembakan datang dari kaca samping pengemudi atau sebelah kanan. Sementara, dalam rekonstruksi, posisi Pak De diskenariokan berada di samping kiri Ditje yang mengemudi.

Dengan segala sudut arah peluru, tidak mungkin Pak De di posisi samping Ditje bisa menembak dari arah kanan Ditje.

Pak De selalu membantah berita acara pemeriksaan di persidangan karena dirinya terpaksa mau menerima cerita yang dikarang polisi agar tidak disiksa. Pak De sebelumnya juga dikaitkan dengan pembunuhan Endang Sukitri di Depok, yang juga terlihat dipaksakan.

Vonis seumur hidup yang diterima Pak De karena membunuh Ditje akhirnya berbuah pembebasan dirinya di masa pemerintahan BJ Habibie. Peninjauan kembali yang diajukan Pak De dilakukannya karena dirinya merasa bukan sebagai pelaku pembunuhan Ditje.

Konon pengungkapan kasus Ditje memang sengaja “dipermainkan” karena terkait dengan keterlibatan mantan petinggi militer dan keluarga elite penguasa yang terlibat cinta “segi empat” dengan peragawati Ditje Budiarsih.

Pembunuhan wartawan Udin 

Kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas dari Yogya Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin yang kebetulan saya aktif meliput kasus di Yogyakarta dan Jakarta, terlihat sekali polisi memaksakan pelakunya “abal-abal”.

Udin terbunuh usai intensif memberitakan suksesi bupati Bantul yang sarat dengan rekayasa. Udin dianiaya orang suruhan hingga tidak sadarkan diri di tanggal 13 Agustus 1996.

Baca juga: Dewan Pertimbangan Presiden Rekomendasikan Kasus Udin Bernas Dibuka Lagi

Setelah dirawat selama tiga hari di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, akhirnya nyawa Udin tidak tertolong. Kematian Udin tidak terlepas dengan berita-berita yang ditulisnya mengenai salah satu calon bupati yang masih menjadi petahana Kolonel TNI Sri Roso Sudarmo.

Aneka penyimpangan bupati petahana yang ditulis Udin memantik ketidaksukaan, di antaranya soal kabar kesediaan Sri Roso Sudarmo yang akan ”menyetor” Rp 1 miliar kepada yayasan milik Presiden Soeharto (Tirto.id, 16 Agustus 2021).

Kasus pembunuhan Udin sempat tersendat karena polisi tidak maksimal dalam mengusut tuntas kasus. Desakan aktivis dan maraknya pemberitaan mengenai kejanggalan pembunuhan Udin membuat polisi akhirnya menjadikan Dwi Sumaji alias Iwik sebagai pelaku tunggal pembunuhan Udin.

Uniknya selama persidangan Iwik selalu membantah berita acara pemeriksaan yang dibuat polisi karena dia akui selama pemeriksaan dibuat mabuk dan ancaman dari penyidik Polres Bantul.

November 1997, Iwik dibebaskan dari tuduhan sebagai pelaku pembunuhan. Penyidik yang merekayasa kasus Udin hanya dihukum mutasi ke Mabes Polri dan hingga sekarang siapa pembunuh Udin masih menjadi misteri yang tidak terpecahkan.

Pembunuhan aktivis buruh Marsinah

Kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang lantang menyuarakan ketidakadilan dalam upah buruh di tempatnya bekerja di PT Catur Putera Surya, Porong, Jawa Timur juga masih menyisahkan akhir kisah yang “buram”.

Marsinah yang membela rekan-rekan kerjanya dipecat oleh Kodim Sidoarjo, malah bukan dari perusahaan tempat mereka bekerja sebagai bentuk kesewenang-wenangan.

Baca juga: Mengenang Marsinah, Simbol Perjuangan Kaum Buruh yang Tewas Dibunuh

Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan terbunuh dengan luka menjalar dari lubang kemaluan hingga rongga perut di pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk, Jawa Timur.

Berdasarkan laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 1995, aparat intel Kodam Brawijaya memaksakan dua satpam dan tujuh pimpinan PT Catur Putera Surya sebagai pelaku pembunuhan terhadap Marsinah.

Aksi penyiksaan yang dilakukan tentara tersebut sungguh di luar batas kemanusian dan semua tersangka dilimpahkan ke Polda Jawa Timur.

Pakar forensik kedokteran UI, Abdul Mun’im Idris, yang dilibatkan sebagai saki ahli menyebut barang bukti yang dihadirkan di persidangan Marsinah sangat janggal dan dipaksakan.

Marsinah dibunuh karena luka tembak. Pada 3 Mei 1995 Mahkamah Agung memvonis sembilan terdakwa tidak terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah.

Sembilan terdakwa dibebaskan namun hingga kini keterlibatan milter dikaburkan dari kasus Marsinah (Tirto.id, 8 Mei 2018).

Siapa pelaku pembunuhan Marsinah hingga sekarang masih tidak jelas dan memang sengaja dibuat tidak jelas.

Pembunuhan aktivis HAM Munir

Pegiat hak asasi manusia Munir Said Thalib tewas setelah dibunuh dalam penerbangan Garuda dari Jakarta menuju Belanda. Meski sejumlah nama telah disidang dan menjalani hukuman, tetapi kenyataannya aktor intelektual di balik kasus tewasnya Munir masih tidak kunjung terungkap.

Munir yang begitu “galak” dengan keterlibatan militer dalam berbagai pelanggaran hak asasi manusia diketahui tewas dua jam sebelum pesawat Garuda mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pada 7 September 2004.

Munir mengembuskan napas terakhirnya karena ada arsenik dalam tubuhnya. Siapa yang meracun Munir dan siapa dalang di kasus pelenyapan Munir tidak tuntas tersingkap sampai hari ini.

Andai Sherlock Holmes membantu polisi

Buntunya berbagai kasus pembunuhan dan kegagalan polisi mengungkap pelaku pembunuhan menjadikan beban sejarah yang terutang sampai kapan pun. Keluarga korban berhak mendapatkan kejelasan kasus yang merengut nyawa anggota keluarga yang dicintainya.

Publik pun juga berhak menuntut kerja profesional kepolisian dalam menyibak kasus-kasus yang terutang.

Sherlock Holmes dan Dr John Watson, dua karakter utama dalam lakon detektif Sherlock Holmes yang selalu direka ulang.Dok BBC Indonesia Sherlock Holmes dan Dr John Watson, dua karakter utama dalam lakon detektif Sherlock Holmes yang selalu direka ulang.

Polisi kita harus belajar bagaimana kasus pembunuhan mahasiswi Jepang Junko Kobayashi yang terjadi 25 tahun lalu dan belum terpecahkan hingga sekarang tetapi terus coba diungkap kepolisan Jepang.

Sudah 75.000an saksi diperiksa dan 1.100 petunjuk dikumpulkan tetapi kasus pembunuhan ini belum juga terungkap. Bahkan hadiah 3 juta yen ditawarkan polisi untuk informasi yang mengarah pada penangkapan tersangka.

Adanya petunjuk baru, kasus ini dibuka kembali untuk mencari siapa pelaku pembunuhan sebenarnya (Kompas.com, 14 September 2021).

Personil kepolisian kita pun juga tidak kalah hebatnya dengan kepolisan di negara maju. Banyak perwira muda dikirim ke berbagai negara untuk belajar forensik dan reserse.

Beberapa kasus pembunuhan yang pelik juga berhasil dipecahkan, di antaranya kasus pembunuhan Keluarga Dodo Triono di Jalan Pulomas Utara, Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur pada tanggal 27 Desembere 2016.

Kejadian yang menewaskan 6 orang meninggal dan 5 orang luka berat berhasil diungkap dalam beberapa hari usai kejadian.

Andai spirit Sherlock Holmes - tokoh detektif fiksi rekaan Sir Arthur Conan Doyle – hadir di korps kepolisian kita, tentu tidak semua kasus pembunuhan menjadi misteri.

Sherlock Holmes yang menyebut dirinya sebagai seorang detektif konsultan ini dikenal dengan kemampuan menyamar, ketajaman penalaran logis, dan keterampilannya dalam menggunakan ilmu forensik untuk memecahkan berbagai kasus.

Tidak mudahnya melabelkan tersangka untuk korban kejahatan seperti kasus-kasus penganiayaan pedagang oleh para preman di Sumatera Utara tetapi polisi kita harus mau belajar dari pengalaman.

Baca juga: 2 Kali Polisi di Sumut Jadikan Pedagang Korban Penganiayaan sebagai Tersangka, Alasannya Sama-sama Salah Prosedur

Komitmen “potong kepala dan ekornya untuk ikan yang busuk” harus menjadi pedoman untuk polisi yang paham presisi: prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan. Semoga....... (*Ari Junaedi adalah akademisi, konsultan komunikasi & kolomnis)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com